Usai meeting, Anjani langsung kembali ke meja kerjanya. Ia masih tak menyangka kalau dirinya mendapat promosi setelah tiga tahun bekerja, bahkan mengalahkan seniornya. Dirinya merasa senang sekaligus was-was. Senang karena gaji naik dan was-was karena otomatis tanggung jawabnya akan bertambah. Ia juga harus mengurusi empat orang anak buah.
Sebentar! Itu artinya nanti, ia akan langsung melapor kepada Arman? Ah, berarti mereka juga akan lebih sering berinteraksi dan barangkali saja itu bisa mengakrabkan hubungan mereka kembali.
“Telepon Mona, ah!” Cetusnya tiba-tiba.
Ia langsung meraih ponselnya, mencari kontak Mona dan menekan tombol panggil. Ia meletakkan ponsel pada telinganya dan tak butuh waktu lama bagi sahabatnya itu untuk menjawab.
“Halo, An.” Sapanya.
“Mon, gue punya kabar baik. Tebak apaan?” Anjani sambil tersenyum lebar meski sahabatnya itu tak dapat melihat.
“Apaan? Lo abis menang lotre?” Sahut Mona asal kemudian terkekeh.
“Gue di promosi jadi Social Media Lead.” Anjani memekik pelan agar tak mengganggu karyawan lain.
“Wuihhhh, congrats ya, An,” Mona tak kalah antusias, “lo emang layak lah dapetin itu semua. Andaikan lo kerja di Daintie, pasti udah jadi atasan gue kali.”
“Nggak juga lah!”
Anjani kemudian bercerita mengenai Bu Susanti yang akan pindah dan siapa saja yang dipromosi jabatan.
“Berarti Arman jadi atasan lo langsung, dong?” Nada Mona terdengar tak suka. “Masih mending kalau dia CEO nya.”
“Justru bagus.” Anjani tampak sumringah. “Kali aja dengan semakin sering berinteraksi dengan Mas Arman, pelan-pelan kita bisa dekat lagi kayak dulu.”
Mona menghela napas.
“An, inget pesan gue! Kalau di tempat kerja, lo tetap profesional ya, interaksi seperlunya aja masalah kerjaan. Arman yang lo kenal sekarang itu, bukan lagi Arman yang dulu.” Mona sebenarnya sudah capek menasihati sahabatnya itu.
Anjani malah terus menyerocos. “Eh, lo ingat nggak sih, Mon? Waktu gue keterima di beberapa perusahaan di Sudirman termasuk Aftive. Gue tuh nggak pakai pikir panjang langsung pilih di sini, kan? Sudah kayak panggilan hati aja gitu gue pilih kerja di Aftive. Ternyata takdir memang mempertemukan kita lagi di sini.” Ia sambil memekik riang.
“Bukan sih, An. Itu kan perusahaan impian lo sejak kuliah.” Sanggah Mona.
“Oiya, lo nggak lihat langsung, sih. Dia itu diam-diam sering merhatiin gue. Terus nih … dia juga berusaha ngelindungin gue saat Mischa Alexander mau genit minta nomor telepon. Dia juga katanya konfrontasi grup chat ghibah kantor waktu mereka lagi ngomongin gue. Makanya yang akhirnya dipromosi itu gue bukan Selvy. Pasti Mas Arman yang usulin ke Bu Susanti.”
Yah, Anjani akhirnya mengetahui kalau banyak yang tak menyukainya di kantor dan sering membicarakannya di belakang. Namun, ia tak peduli karena sudah sering merasakan keras dan pahitnya hidup.
“Nggak tau aja mereka kalo waitress café yang waktu itu jaga shift, itu teman kosan gue.” Lanjut Anjani. “Tadi juga Mas Arman pengen ketawa gara-gara tingkah konyol gue pas meeting, tapi gue tahu tuh dia berusaha nahan dan mukanya sok-sok garang. Intinya dia masih peduli sama gue.”
Mona hanya memutar bola mata dan masih berusaha tak mengungkap rahasia Arman.