Negosiasi 7 Aksi

Khoirul Hasanah
Chapter #1

Penemuan yang Mencekam

“Adakalanya, badai terhebat terjadi di dalam diri manusia–tanpa suara, tanpa saksi, dan tanpa ada yang tahu bahwa mereka sedang bertempur di tengah kegelapan.”

***

Peresmian pasar besar di kota Malang ini sudah lebih dari tiga tahun, tapi nama Wali Kota mereka masih saja disanjung. Di setiap sudut tempat itu para pedagang selalu meninggikan nada bicaranya seolah-olah manusia yang mereka bicarakan adalah Tuhan.

Padahal jika diperhatikan dengan saksama, kondisi pasar pun sudah mulai terlihat kumuh. Banyak sisi yang sudah rusak, tapi tak ada penanganan serius dari pemerintah setempat. Sisa-sisa sayur dibiarkan menumpuk di tempat sampah selama beberapa hari hingga bau busuk tercium sampai di pintu masuk pasar itu. Para penjaga parkir saja bekerja asal-asalan yang penting mereka mendapat pemasukan.

Tak sekali dua kali ada pembeli yang protes terkait pelayanan masyarakat di pasar, tapi suara itu seolah-olah hanya bualan yang tak pernah sampai di telinga Pak Wali Kota. Barangkali itulah yang membuat masyarakat acuh tak acuh pada kondisi pasar yang sedemikian rupa. Mau bagaimana pun, masyarakat berpikir jika setidaknya pasar ini dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi para pedagang yang tak memiliki lapak.

“Apa benar uang untuk membangun pasar ini benar-benar digunakan dengan baik?” tanya seorang pemuda yang duduk santai di pos satpam, tak jauh di depan pasar itu sambil menunggu orderan masuk di ponselnya.

“Kalau memang ada korupsi di pasar ini, kita bisa apa? Hidup sekarang begini, semua urusan kelar kalau ada uang. Lagi pula, yang penting para pedagang masih bisa berjualan, sudah bersyukur lah,” ujar Pak Suto, seorang satpam yang juga berjaga di pos sambil menyeruput secangkir kopi yang sisa setengah itu.

Pemuda itu hanya menghela napas panjang tanpa menanggapinya. Sebagai seorang mahasiswa, sepatutnya dirinya dapat berguna bagi masyarakat yang kondisi sosialnya sangat jelas di depan mata, namun pemuda itu tak tahu harus berbuat apa selain hanya bertukar pendapat dengan satpam itu setiap hari.

Sambil memandangi pemuda di sampingnya, Pak Suto kembali berkata, “Hoalah Le (panggilan anak laki-laki dalam bahasa jawa). Awakmu iku lo kok ga capek habis kuliah masih kerja ojek online begini?”

“Namanya juga butuh uang, Pak. Kuliah juga banyak pengeluaran, makanya saya enggak mau merepotkan Bude yang sejak orang tua saya meninggal sudah menghidupi saya.”

“Hust! Ngomong apa sih kamu ini. Orang tua itu enggak pernah merasa direpotkan sama anak-anaknya, karena anak itu sudah menjadi tanggung jawab yang harus mereka hidupi dengan baik,” kata Pak Suto dengan bijak.

“Tumben Pak Suto bijak begini,” pemuda itu terkekeh.

“Aku ini sudah kenyang asam garam, kerja setiap hari bukan sekadar cari nafkah, tapi tanggung jawab. Bagaimanapun, rumah itu tempat paling nyaman untuk melepas lelah. Apalagi kalau kamu bisa ngobrol sama anak istri, rasanya beban langsung hilang. Ingat, tanggung jawab itu dimulai dari hal-hal kecil.”

“Mungkin karena saya ini belum punya anak istri seperti Pak Suto kali ya, makanya belum paham artinya tanggung jawab dan cara mengatur hidup yang baik,” ucap lirih pemuda itu seraya memandang orang yang lalu lalang.

“Loh, jangan diambil pesan dari cerita ini supaya kamu buru-buru menikah. Kalau belum mampu, belum punya rasa tanggung jawab, lebih baik jangan gegabah,” tegur Pak Suto sambil menyentil dahi pemuda itu.

“Akh!” pekik pemuda itu seraya mengusap dahinya sambil meringis kesakitan.

“Ambil saja contoh dari percakapan kita tadi. Orang yang korupsi itu sama halnya dengan seseorang yang menjilat air liurnya sendiri. Dia tak punya rasa tanggung jawab atas kekuasaan, makanya dia sewenang-wenang menggunakan jabatannya. Kamu paham maksudku kan?” Pak Suto menatap pemuda dihadapannya.

Lihat selengkapnya