Akmal masih berusaha mencerna pemandangan mencekam yang seperti mimpi itu. Sambil merangkak, Akmal mendekati kekasihnya yang sudah tak bergerak sedikit pun. Darah segar tersentuh tangannya, Akmal yakin Lia belum lama dibunuh dan pelakunya pasti masih ada di tempat itu.
“Lia, kau hanya bercanda kan? Kau hanya mau membuat surprise kan? Ini tak lucu tau!” seru Akmal seraya menatap lekat kekasihnya dengan mata berkaca-kaca, tapi sayangnya gadis itu tak membalas pertanyaannya.
Dengan kondisinya yang masih kelimpungan, Akmal beranjak dari posisinya dan menggeledah laci hingga lemarinya, namun tak menemukan apapun. Kemudian di tengah kegiatannya, terdengar bunyi “Pyarr!” benda pecah berasal dari kamar mendiang kedua orang tuanya yang tepat di sebelah kamarnya.
“Jangan-jangan, maling yang membunuh Lia?” Tanpa gentar, larinya secepat kilat tak tebersit pikiran jika pemuda itu menjadi target berikutnya.
Mata yang semula berkaca-kaca berubah menjadi was-was, tapi tak terdengar lagi bunyi apapun. “Apa maling itu sudah keluar lewat jendela?” tanya Akmal lirih.
Akmal membuka pintu dengan cepat dan menyalakan lampu. Sayangnya, ruang itu kosong, jendela terbuka lebar, dan menyisakan serpihan vas di samping kasur.
“Mungkinkah maling itu melompat keluar? Tapi di bawah sana kan kolam, sedangkan tak ada suara seseorang yang jatuh ke air,” gumam Akmal seraya berpikir.
Saat Akmal berniat membalikkan badan, jantungnya berdegub kencang ketika tiba-tiba terdengar langkah cepat mendekatinya. Dalam sekejap, sosok misterius dengan gesit, menghantam tengkuknya dengan sebuah plakat. Kepalanya mendongak, kelopak matanya mulai mengatup, dan dalam sekejap, tubuhnya terjatuh ke lantai, seolah-olah dunia sekitarnya menghilang dalam kegelapan.
Hampir 15 menit Akmal tergeletak pingsan di ruang itu, terjebak dalam kegelapan yang menyesakkan. Perlahan, padangannya yang semula kabur mulai mengumpulkan fokus, dan saat itu, sosok laki-laki berpakaian serba hitam muncul di hadapannya, duduk di lantai di samping kasur, mengamatinya dengan tatapan tajam. Perawakannya kekar, berwajah tegas, berkumis tipis, dan kulitnya putih bersih. Dari penampilannya, Akmal berpikir usianya tak jauh berbeda, atau mungkin setara dengannya.
Akmal meringis kesakitan ketika membenarkan posisi duduknya dan menyandarkan pada tembok. “Bagaimana kejutannya? Kau suka?” tanya laki-laki menunjukkan senyum menyeringai.
“Jadi, kau yang sudah membunuh Lia?” bentak Akmal meneriaki laki-laki di hadapannya sambil menunjuk wajahnya.
“Ssttt! Aku membunuh? Memang kau punya buktinya? Padahal, selama ini ku pikir kau menganggap Lia bonekamu, seperti perempuan-perempuan itu,” laki-laki itu terkekeh.
“A-apa maksudmu?”
Tatapan laki-laki itu berubah tajam dengan rahang mengeras. “Jangan pura-pura bodoh! Aku tahu kau paham maksudku. Semua yang kau lakukan dengan beberapa mahasiswi itu, aku melihatnya,” jelasnya.