Malam itu, aku terbangun karena bunyi aneh dari balik dinding kamarku. Suara yang pertama kali terdengar absurd, tapi kemudian setelah itu aku merasa jijik dan muak. Ada suara desahan dari kamar sebelah dan bunyi itu diiringi oleh pukulan dan getaran di dinding. Inilah risiko tinggal di sebuah rumah dengan pembatas yang tipis, kau bisa mendengarkan semua bising dari kamar tetangga.
Sekarang, aku sedang berada di sebuah rumah murah di New York dengan biaya sewa yang terjangkau untuk saku mahasiswa miskin asal Indonesia seperti diriku. Kau jangan tertawa dulu karena membayangkan sebuah rumah sewa atau rumah kecil, sumpek dan berbahan dasar tripleks layaknya rumah-rumah kontrakan di Indonesia. Mungkin kau tidak akan percaya karena kau berpikir mana mungkin ada rumah seperti ini di New York. New York itu, kan, kota metropolitannya Amerika Serikat, masa iya ada rumah yang payah seperti itu?
Well, biar kuberi tahu, di sini ada rumah murah dengan dinding yang terbuat dari papan pohon oak dan lantainya terbuat dari bahan sama. Dipelitur dengan sempurna, serta memakai wallpaper yang cantik dan menawan. Tidak terkesan murahan dan tak kalah nyaman dengan rumah mahal lainnya, tapi sudahlah, aku tidak akan menjelaskan kepadamu secara panjang lebar mengingat suara-suara dari kamar sebelah cukup mengganggu kedamaianku. Bunyi yang telah mengganggu kenyamanan gendang telingaku, suasana hatiku dan … tunggu dulu!
Nah, sekarang aku tersadar bahwa itu suara orang yang sedang bercinta jika aku mendengar desahan demi desahan dan erangan intens secara saksama. Tiba-tiba aku merasa terjebak dalam kondisi yang begitu menyebalkan. Mataku kembali terjaga dan aku tahu aku tidak bisa tidur dengan bunyi orang yang sedang memadu kasih di balik dinding. Aku beranjak dari tempat tidur dengan wajah yang tertekuk menuju meja belajar. Siapa yang menyukai kondisi di mana kau mendengar suara yang menjijikkan, sementara kau seorang diri di dalam kamar dengan benak yang membayangkan adegan paling tidak senonoh sedunia?
Aku tahu aku tidak akan bisa tidur. Jadi aku memilih mengambil textbook tentang Sejarah Peradaban Manusia yang akan aku pelajari di Kampus dan mulai menekuninya, tapi, Oh Tuhan, suara itu jelas-jelas menghancurkan konsentrasiku! Desah perempuan dan suara bariton seorang pria yang menggeram, “Oh Yeah! Oh Yeah, Yes!”
Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan sedikit sentakan. Apa yang harus aku lakukan? Demi menyelamatkan telingaku dari suara-suara menjijikkan dan mesum itu, sepertinya aku harus menyumpal telingaku dengan earphone.
Aku segera beranjak dari kursi untuk mengambil earphone yang terletak di atas nakas, menyambungkannya dengan Iphone-ku dan memilih lagu-lagu religi Maher Zain, favoritku. Aku tak perlu ragu untuk menaikkan volumenya sehingga suara dari tetangga tak lagi bisa menembus gendang telinga. Setelah itu, aku kembali menekuni textbook tanpa perlu khawatir bunyi menjijikkan itu nyasar ke pendengaranku.
Namun, diam-diam aku tersenyum tipis di tengah rasa jengkel yang mendera hatiku. Jujur, aku merasa konyol dengan kondisiku saat ini. Hari kemarin, aku merasa risih ketika melihat sepasang kekasih berciuman di dalam kereta dan sepekan yang lalu bahkan aku melihat sepasang pria gaybercumbu di taman. Benar-benar menjijikkan dan membuat perutku terasa diaduk-aduk sehingga aku ingin muntah dibuatnya.
Bagaimana mungkin sepasang pria tampan saling bercumbu di tengah banyak orang? Aku jadi berpikir apakah eksistensi para perempuan akan terabaikan dengan semakin percaya dirinya kaum LGBT abad modern ini? Namun, saat itu aku sadar, inilah Amerika Serikat. Sangat berbeda dengan Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan memegang teguh norma-norma agama.
Aku sadar bahwa aku harus berdamai dengan kekacauan ini. Wajar saja bila aku mengalami culture shock karena perbedaan yang begitu kentara. Aku harap ini bukan alasan utama yang membuatku tidak betah jauh dari rumah, tapi tentu saja bukan berarti aku harus ikut-ikutan dengan budaya Amerika yang serba permisif. Karena aku sendiri punya prinsip.