Kau bisa menebak apa yang terjadi malam ini? Benar, suara itu kembali datang, bunyi yang tidak asing lagi dan Ya Tuhan, kali ini aku sudah tidak tahan! Itu karena benturan di dinding kamar membuat pigura yang membingkai potretku jatuh dari dinding dan tepat mengenai keningku. Aku menjerit dan refleks terbangun dengan dahi yang berdarah. Ujung pigura yang runcing itu mendarat tepat di jidat sebelah kiriku dan aku berani bertaruh luka ini akan bengkak dalam seminggu. Sialan!
Rasa kantuk hilang berganti amarah yang meluap hingga ubun-ubun. Aku menyibak selimut dan mengentakkan kaki ke lantai, bahkan aku tidak sempat memikirkan sandal dan tidak peduli dengan lantai yang dingin. Aku menerjang pintu, menyusuri lantai teras yang terhubung satu sama lain dan berdiri tepat di depan pintu sang tetangga. Emosi itu mampu memprovokasi kedua tanganku untuk menggedor pintunya sekeras mungkin. Persetan dengan tata krama, persetan tentang ajaran Mama untuk menjadi orang yang baik dan selalu menahan kejengkelan karena perilaku buruk tetangga, aku tidak peduli. Karena hak tidurku telah dirampas oleh suara desahan, erangan, dan geraman yang menyebalkan.
Oke, ditambah dengan pigura yang jatuh akibat benturan-benturan yang mereka ciptakan di dinding kamarku. Aku tidak akan marah jika hanya mendengar suara desahan mereka, tapi tidak jika yang terjadi adalah keningku berdarah sementara mereka tengah menikmati pergumulan hebat mereka. Aku perlu menggedor sebanyak lima kali dengan ketukan yang cukup keras, sehingga aku baru menyadari bahwa tanganku mulai kesakitan.
Aku bisa mendengar suara derap langkah kaki dari dalam dan beberapa detik kemudian pintu pun terbuka. Di hadapanku kini menjulang sosok wanita dengan tubuh semampai layaknya maneken yang biasa aku lihat di mal. Bedanya, ‘maneken hidup’ ini tidak membalut tubuhnya dengan baju-baju seksi, melainkan membungkus tubuhnya dengan selimut putih. Rambutnya acak-acakan tak karuan seperti wanita purba yang tak mengenal sisir selama satu bulan lamanya. Aku berani bersumpah bahwa rambut itu akan sangat indah jika disisir rapi dan aku baru menyadari bahwa baru saja mereka berdua bercinta, sehingga besar kemungkinan kalau surai itu menjadi korban keberingasan hasrat pemiliknya. Mata biru wanita itu menatapku dengan tatapan setajam silet dan bibir tipis merahnya mengerucut tanda tak senang.
“Ya?” tanyanya, sementara sorot matanya terus menghunjamku.
Napasku memburu dan aku mulai menceramahinya. “Dengar! Aku tidak mau lagi mendengarkan suara sialan kalian dan aku tidak mau merasakan benturan di dinding kamarku. Kalian telah merampas kedamaianku selama tiga malam!”
“Itu bukan urusanmu. Aku juga memiliki hak untuk bersenang-senang dengan pasanganku!” seru wanita itu defensif. Alih-alih merasa bersalah, dia mengangkat tinggi rahangnya dan berkacak pinggang. Itu pun dia lakukan setelah dia yakin selimut putih itu melilit tubuhnya dengan sempurna.
“Tidakkah kau belajar tentang menghormati tetangga? Dasar Wanita Jalang.” Tentu saja semua kemarahanku keluar dengan sempurna setelah mendengar jawaban wanita tersebut yang terkesan arogan. Mungkin akan lain ceritanya jika wanita itu meminta maaf kepadaku, tapi, hai, apa yang baru saja ia katakan? Dia punya hak untuk bercinta seribut itu? Lalu bagaimana dengan hakku sebagai tetangga yang membutuhkan kenyamanan?
“Apa kaubilang?” Kini, sorot mata si ‘Wanita Maneken’ itu dilalap api amarah. Dia sepertinya tidak terima dengan julukan yang aku berikan kepadanya.
“Ya, Wanita Jalang. Apa lagi kalau bukan itu? Perempuan yang selalu melenguh di atas ranjang!” desisku sarkastis.
Aku menunggu bagaimana respons si wanita tersebut. Akankah dia menampar pipiku atau menjambak rambutku atau .…
“Hai Honey, sebaiknya kamu kembali ke kamar. Biar aku yang urus.” Tiba-tiba suara bariton muncul dari belakang punggung si ‘Wanita Maneken’.
Wanita Maneken itu mendengkus sebal, memutar bola matanya, dan berlalu dari hadapanku, tentu saja dengan menyisakan tatapan tajamnya. Dia berjingkat sembari menggenggam selimut yang terlilit sempurna di sekitar dadanya. Aku yakin dia telanjang di balik selimutnya itu.
Dan lihat! Benarlah apa yang aku bilang tadi. Wanita itu memang jalang. Dia berjingkat di samping si lelaki bersuara bariton dan mereka berciuman dengan ciuman yang panas tepat di hadapanku, seakan-akan aku tak lebih dari sebuah patung tak bernyawa di antara mereka.
Satu detik .…
Lima detik .…
Sepuluh detik .…
Jika mereka berciuman lebih dari dua belas detik, aku berjanji akan berlalu dari hadapan mereka dan berharap konfrontasiku bisa membuat mereka jauh lebih sopan saat mereka bercinta.
Oke, tampaknya mereka menyelesaikan urusannya tepat ketika aku berniat untuk berlalu dari hadapan mereka berdua. Si Wanita Maneken melepaskan tangannya yang membelit leher si pria bersuara bariton dan melenggang pergi. Sementara si pria melangkah menuju ambang pintu di mana aku hanya menatapnya dengan ekspresi sedingin es. Bagaimana tidak, pertama kali aku datang dalam keadaan marah. Kemudian kemarahanku semakin parah demi melihat mereka berciuman di hadapanku.
Ya Tuhan! Ternyata dia sangat tinggi jika berdiri tepat di hadapanku. Mungkin tingginya 180 senti lebih. Pria itu tersenyum sopan dan harus merendahkan pandangannya demi menatap mataku yang berada 30 senti di bawahnya. Dan tentu saja aku harus menatap matanya, bukan menatap dada bidangnya dengan selimut putih yang hampir melorot di sana, meski mau tak mau aku bisa melihat dadanya yang bidang dengan bulu-bulu halus yang mengular dan menyebar hingga pusar. Kedua bola matanya yang sebiru laut menyorotkan tanda tanya dan keningnya berkerut keheranan.
“Hai.”
“Dengar! Aku tidak ingin kalian menggangguku lagi.”
“Maksudmu? Apa yang membuatku mengganggu ketenanganmu?”