Orang bijak bilang bahwa teman adalah orang yang paling dekat dengan dirimu di samping keluarga, bahkan dalam beberapa keadaan, kehadiran teman tak akan jauh berbeda dengan kehadiran keluarga dalam kehidupan seseorang. Tanpa adanya seorang kawan, seorang manusia akan merasakan kesepian dalam kehidupannya dan aku bisa membuktikan hal tersebut dalam sejarah kehidupanku di New York.
Jauh dari Mama dan Bang Fadli memang menyedihkan bagiku. Aku selalu menanggung kerinduan yang begitu besar terhadap mereka berdua, tapi kangen itu kini ternetralisir dengan kehadiran teman-teman baru yang aku temukan di tanah rantau. Benar juga apa yang dikatakan Imam Syafi’i, kalau tak salah aku pernah membaca bukunya dari si ketua Rohis SMA-ku, Hafiza. Imam Syafi’i bilang, ‘Merantaulah, maka kau akan mendapatkan teman baru’.
Kini, hanya beberapa hari saja aku telah menemukan tiga sahabat baru yang aku harap bisa mewarnai hari-hariku selama menempuh study di New York. Oleh karena itu, izinkan aku memperkenalkan mereka kepadamu.
Ada seorang perempuan berhijab lebar bernama Hamida. Dia keturunan Yaman-Amerika yang menempuh study di jurusan Psikologi Columbia University. Well, pertemuanku dengan gadis cantik dengan paras yang memancarkan aura kecantikan orang Arab ini adalah perjumpaan yang tak sengaja di kantin.
Entah kenapa di hari pertama dalam sejarah perkuliahanku aku dipertemukan dengan seorang gadis cantik tersebut dan entah kenapa pula Hamida ‘nyasar’ di kantin yang notabene dipenuhi oleh mahasiswa sejarah dan humaniora, tapi aku bersyukur karena dia mau menjadi temanku hanya karena aku duduk sendirian di hari pertamaku.
Ketika itu aku sendirian di kantin sembari mengaduk cappuccino yang baru saja aku pesan. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok gadis berhijab hijau lumut dengan gamis berwarna senada menghampiri mejaku dengan senyumnya yang mengembang laksana putri dari kesultanan Islam di masa silam.
“Hai!” sapanya kala itu. Dia mengulurkan tangannya mengajakku untuk bersalaman.
“Halo,” jawabku sembari memamerkan senyumku, kemudian menyambut uluran tangannya.
“Boleh aku duduk di sini?”
“Dengan senang hati, aku justru membutuhkan teman bicara,” jawabku, mencoba ramah.
“Siapa namamu?”
“Nadia dan kau?”
“Hamida Azra dari Yaman. Panggil saja aku Hamida. Teman-temanku biasa memanggilku begitu. Apakah kau dari Malaysia?”
“Indonesia,” jawabku singkat masih dengan senyum lebar yang bertengger di bibir, “dekat dengan Malaysia.”
“Oh, ya. Orang Malaysia dan orang Indonesia memang tidak jauh berbeda, ya. Bahkan aku pikir orang Thailand dan orang Filipina juga memiliki kemiripan yang sama dengan kalian.”
Aku tertawa sembari mengaduk cappuccino-ku. “Yeah, seperti itulah. Bisa dikatakan satu rumpun, kau mau pesan apa?”
“Aku sedang puasa sunnah.”
“Oh, subhanallah. Aku bangga kepadamu,” ujarku takjub.
“Jadi, kau muslim?” tanya Hamida dengan nada antusias dan binar di matanya.
“Ya,” jawabku.
“Masya Allah,” serunya dengan nada penuh kebahagiaan. Kemudian dia memelukku dengan antusias. Beruntung saja aku tidak menyenggol cangkir kopiku. “Entah kenapa, senang rasanya bisa berjumpa dengan saudara seiman,” tambahnya masih dengan antusiasme yang sama.
Aku hanya tersenyum tipis karena tidak terbiasa dengan perlakuan seperti itu.
“Hai Hamida.”
Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara dari arah samping dan Hamida melepaskan pelukanku, kemudian ia memalingkan mukanya ke asal suara. Aku juga melakukan hal yang sama dan aku menemukan dua gadis cantik yang berdiri bersisian. Tubuh keduanya sama-sama semampai dan indah. Yang satu berambut cokelat dan bermata hijau, sementara yang satunya lagi berambut pirang pucat dengan bola mata berwarna kelabu.