Di siang hari, pemakaman itu tampak indah seperti halnya taman rekreasi. Pepohonan rindang dan bunga-bunga berwarna-warni tumbuh di berbagai titik. Tiang-tiang lampion listrik menjulang, berbaris rapi dengan ornamen cantik serupa bendera festival. Nisan-nisan besar tertata rapi di sekujur bukit, masing-masing dengan teras khusus untuk ritual sembahyang leluhur sekaligus wahana berkumpul bagi keluarga yang berkunjung. Teras-teras kuburan itu sangat unik satu sama lain, megah dan gemerlap, menghilangkan kesan bahwa tempat ini adalah tempat peristirahatan orang-orang mati.
"Ya, kalau saja tempat ini ramai oleh manusia, mungkin saja tempat ini akan benar-benar dikira taman wisata. Lalu tak lama, akan dibangun sebuah loket khusus di mana seorang petugas menarik biaya untuk tiket masuk."
"Boleh juga. Mungkin Rp50.000,00 harga yang sesuai. Oh, pengunjung juga harus membayar untuk berfoto di nisan-nisan megah ini. Hmm, tentu saja, memangnya mereka pikir keluarga almarhum membangun nisan ini tanpa biaya?"
"Bagaimana jika biaya sekali foto Rp10.000,00? Ah, pengunjung juga bisa menyewa lapak di teras-teras ini dengan ... ah, bagaimana dengan Rp100.000,00 lagi?"
Sepanjang siang itu, begitulah ceracau Sastra, hantu dengan penampakan seorang lelaki berusia dua puluhan. Ia memang gemar berbicara seorang diri, mengisi waktu luangnya yang tak terbatas.
"Kau bicara apa, sih, Tampan?" Seorang hantu berwujud wanita paruh baya bergaun pendek menyapa Sastra. Ia menghisap pipa rokok, kemudian mengembus asap ke udara.
"Oh, Madam Butterfly. Dapat kiriman lagi hari ini?" balas Sastra. Ia memutar tubuhnya ke arah Madam Butterfly.
"Ya, begitulah, Sayang. Sudah berapa puluh tahun, tapi fans masih mengirimiku banyak barang." Madam Butterfly mengangkat sebelah tangannya, menunjukkan tas jinjing kecil bertatah permata.
Madam Butterfly adalah seorang penyanyi pop terkenal di era 70-an. Mati tertembak saat konser akbarnya di hadapan depan mata seluruh dunia. Keluarganya sudah tak pernah berkunjung, tetapi seperti kata sang diva, penggemarnya masih kerap mengirimkan persembahan selama bertahun-tahun setelah kematiannya.
Setahu Sastra, untuk mengirim persembahan pada arwah, persembahan itu harus dibakar. Ia merinding membayangkan para penggemar Madam Butterfly melempar sebuah tas seharga ratusan ribu itu ke dalam tong pembakaran. Yah, tapi namanya juga pemuja. Apalagi yang mereka lakukan?
"Bagaimana denganmu, Tampan?" Madam Butterfly melayang ke arah Sastra. Rantai gaib yang menggantung di dadanya bergemerincing. "Kau masih ... kesepian kurasa?"
"Yah, begitulah, Madam. Seperti yang bisa Anda lihat." Sastra merentangkan tangan, memberikan gestur menyingkap.
Sastra memperlihatkan nisannya yang kecil dan dekil. Kontras dengan nisan-nisan megah di Bukit Bintang, nisan Sastra tidak lebih indah dari sebuah tanda pematok tanah. Nisannya hanya sebongkah balok semen setinggi satu meter dengan lebar tak lebih dari sejengkal. Tidak ada teras, tidak juga hiasan. Bahkan di nisannya hanya tergurat satu kalimat: "Sampai jumpa di neraka, Sastra."
Yah, bahkan petugas kebersihan pemakaman pun enggan untuk sekedar menyikat lumut di nisannya. Sastra mendesah.
"Ck, ck, ck! Sastra-ku sayang," kata Madam Butterfly, napasnya membawa semburan asap ke wajah Sastra. "Kenapa kau masih betah di sini? Segera pergi ke Dunia Lain sana."