"Lama tak jumpa, Paman," balas gadis itu, tak menjawab pertanyaan Sastra sebelumnya. Kedua tangannya masih menyodorkan sapu tangan dengan sopan.
Sastra meraih sapu tangan itu, tetapi tangannya menembus secarik kain putih itu. Tentu saja, Sastra seorang hantu. Tubuh astralnya menembus benda-benda padat di dunia.
"Ah, maaf," seru gadis itu. "Aku lupa."
Gadis itu bersimpuh dan menutup mata. Telapak tangannya menyatu, menggenggam sapu tangan. Lonceng kecil pada gelang di tangan kiri anak itu bergemerincing karena gerakan halusmya. Ia tertunduk beberapa saat, kemudian mengeluarkan sekotak korek gas dari saku kemejanya; ujung ibu jari dan telunjuk menjepit sudut sapu tangan.
Si gadis menyulut sapu tangan itu. Sedikit demi sedikit, bagian sapu tangan yang dilahap api muncul kembali di hadapan Sastra. Saat sapu tangan di tangan si gadis habis menjadi abu, selembar sapu tangan utuh melayang-layang di depan wajah Sastra.
Ingatan Sastra melompat ke beberapa tahun yang lalu. Saat itu, tepat sehari sebelum Tahun Baru, orang-orang ramai mengunjungi Pemakaman Bukit Bintang untuk melakukan sembahyang leluhur. Gadis itu adalah salah satunya.
"Kenapa Om telanjang?" kata gadis itu dulu. Saat itu, usianya mungkin antara 8 atau 9 tahun. Kebetulan lewat karena jalan menuju makam keluarganya tak jauh dari makam Sastra.
"Om tidak tahu ... Om bahkan lupa kenapa Om ada di sini."
Saat itu, Sastra sudah cukup lama menjadi hantu. Seperti nisannya, penampakannya sebagai hantu juga memprihatinkan. Ia hanya mengenakan celana dalaman dan selembar celana jeans lusuh. Telanjang dada. Entah sudah berapa hantu perempuan menggodanya, atau hantu laki-laki yang menertawakannya.
Hantu penasaran bangkit dalam wujud saat mereka dimakamkan, atau dalam beberapa kasus, dalam wujud saat mereka mati. Entah kesalahan apa yang pernah dilakukan Sastra sehingga orang-orang menguburnya tanpa baju ... yah, kalimat sumpah serapah di nisannya menunjukkan kalau Sastra mungkin memang bukan orang yang menyenangkan semasa hidupnya.
Saat itu, yang dilakukan gadis kecil itu adalah melakukan ritual persembahan untuk Sastra. Ia berlutut, merapatkan tangannya dan berdoa, kemudian mengeluarkan sepotong kemeja putih berbau cairan pemutih yang.
"Ini kemeja kakekku," kata gadis kecil itu, kemudian menyulut kemeja itu dalam kaleng pembakaran. "Jangan telanjang lagi, ya Om. Nanti masuk angin."
Itu pertama kali Sastra mendapatkan persembahan dari manusia, dan benar-benar membuatnya terharu. Selama dua tahun berikutnya, gadis kecil itu datang lagi setiap menjelang Tahun Baru dan memberinya persembahan kecil-kecilan seperti sereal coklat atau permainan kartu pengusir bosan. Namun, gadis kecil itu tidak pernah datang lagi di tahun ketiga. Tidak juga di tahun keempat, kemudian tahun-tahun berikutnya.
"Sudah lama, ya," kata Sastra. Benaknya kembali ke masa kini. "Berapa tahun?"
"Sepuluh," balas gadis itu.
Sepuluh tahun. Waktu rupanya begitu cepat berlalu dan dirinya masih saja sama. Sementara di luar sana, entah sudah berubah menjadi apa.
Sastra terpekur. Ia memandangi gadis kecil bertahun lalu yang kini telah tumbuh dewasa. Tinggi, sedikit berisi, wajahnya kusam dan berjerawat, sebagian tertutup rambut yang menjulur ke depan. Rambutnya panjang sebahu, kusut dan ujung-ujungnya tidak terpotong rapi. Sebuah kacamata dengan bingkai kotak besar bertengger di batang hidungnya yang tegas, memberi kesan aneh karena tak sesuai dengan bentuk wajahnya yang sedikit berbentuk hati.
"Namaku Nala," kata gadis itu, membuyarkan lamunan Sastra. Ia mengulurkan tangan untuk berjabat. Mulutnya menyengir kuda. "Dulu kita belum sempat berkenalan, ya Paman."
Sastra sekejap ragu. Dapatkah seorang hantu sepertinya menjabat tangan manusia?
Namun Nala bukan manusia biasa. Sastra tahu itu. Tidak ada manusia biasa yang bisa melihat hantu. Ia menyambut tangan Nala, mengenggamnya.
Tangan keduanya berjabat. Kehangatan dari tangan Nala merambat ke tangan Sastra. Dalam waktu yang sekejap itu, Sastra merasakan darahnya berdesir. Bertahun-tahun dalam keseharian yang berulang membuat interaksi kecil seperti ini menjadi pengalaman baru yang sangat menyenangkan.
"Salam kenal, Nala," kata Sastra. Wajahnya berseri-seri, raut nelangsa sudah hilang sama sekali.
Di satu sisi, wajah Nala memerah. Gadis itu menarik tangannya secepat elang menyambar mangsa. Dari tangan Sastra, tangan gadis itu merapat ke wajahnya sendiri.