Sastra berusaha menahan tangan Rami, tetapi upayanya sia-sia. Tangan kurus Rami menembus tangan hantunya, mendarat di pipi kanan Nala.
"Oi! Anak kurang ajar!"
Sastra seperti disambar geledek ... bukan, dia adalah geledek itu sendiri. Ia memekik, memaki Rami, tetapi percuma. Suaranya tidak dapat terdengar oleh Rami dan kawan-kawannya. Teriakannya justru membuat telinga Nala pekak dan memancing perhatian hantu-hantu lain di pemakaman itu.
"Ah! Lihat! Gara-gara jerawatmu, tanganku jadi kotor!" hardik Rami. Ia mengayunkan lutut ke perut Nala.
Nala, gadis yang malang, jatuh berlutut memegangi perut. Rambutnya masih terjambak.
"Jangan kabur lagi dariku, paham?"
Nala mengangguk lemah. Kacamatanya melorot jauh sampai ke bibir. Kemudian kepalanya dihempaskan ke bawah. Ia berharap, sangat, sangat berharap siksaan ini segera berlalu.
Sastra berang. Emosinya meluap-luap, menghangatkan udara sekitarnya. Konon, kemarahan dan kebencian hantu penasaran dapat mempengaruhi dunia fisik. Fenomena poltergeist misalnya, biasanya disebabkan oleh hantu-hantu yang sedang emosional.
Namun, Nala lagi-lagi mengirimkan sinyal melarang. Gadis itu menatap Sastra dengan tatapan memohon, penuh harap agar hantu itu menahan diri.
Sastra masih geram, tetapi ia menuruti kemauan Nala. Jika dipikir lagi, ikut campurnya mungkin akan memperkeruh keadaan. Maka ia menahan diri.
Untungnya, perundungan itu berakhir. Rami berbalik pergi, diikuti tiga keroconya. Tawa mereka menggema di langit-langit pemakaman. Hantu-hantu yang mereka lewati menggerutu, mencibir kelakuan tidak sopan mereka. Namun, seperti Sastra, celoteh hantu-hantu itu tidak dapat terdengar oleh keempat gadis itu.
"Bagaimana keadaanmu?" Sastra memeriksa keadaan Nala. Tentu saja keadaan gadis itu tidak baik-baik saja. Sastra tidak punya kalimat yang rasanya pas untuk dikatakan.
Namun kenyataannya, Nala masih bisa menyengir. Seperti kuda, gadis itu melebarkan senyum sampai gigi-gigi depannya terlihat.
"Aku tidak apa-apa, Bang Sas."
Bohong. Sastra dapat melihat bahu Nala masih bergetar hebat. Ia mengulurkan tangan, berusaha membantu Nala bangkit.
Akan tetapi, Nala tidak meraih tangan itu. Nala bahkan tidak menatap Sastra.
"Aku ... aku pamit dulu, Bang," ucap Nala, kemudian berlari menjauhi Sastra tanpa menoleh.
"Tunggu, Nala!" seru Sastra, tetapi gadis itu terus melaju.
"Nala! Aku bilang, tunggu!" Sastra berteriak.
Nala akhirnya berhenti. Ia menoleh ke arah Sastra dengan enggan. Wajahnya tersembunyi di balik tirai rambutnya.