Nekrografi Sastra vol.1

Listian Nova
Chapter #4

Chapter 4: Awal Persahabatan (4)

Nala berusaha menghindari tatapan marah Sastra. Ia tahu bahwa amarah itu bukan untuknya, tetapi tetap saja tak tertahankan karena kedua manik mata coklat cerah Sastra yang indah berubah jadi mengerikan karenanya. Tak bisa dielakkan, tubuh Nala langsung gemetar.

"Bukan, bukan, Paman," Nala berusaha menepis.

"Jangan bohong, Nala," balas Sastra, "dan jangan panggil aku Paman!"

"Pelakunya ini, Bang!"

Nala melorotkan tali tas punggung dari bahunya, kemudian memutar tas itu dengan perlahan dan hati-hati. Retseletingnya sudah terbuka. Suara mengeong terdengar lirih dari kedalaman tas itu.

"Kucing?"

Nala mengangguk, kemudian membuka tas itu lebih lebar lagi. Seekor anak kucing serba putih meloncat keluar, menerkam wajah Nala dengan beringas.

"Aduh, aduh! Kicung! Jangan begitu, dong!"

"Kicung?" Sastra mengulang-ulang nama itu dalam benaknya. Benar-benar nama yang aneh. "Jadi, yang membuat wajahmu penuh plaster adalah kucing ini?"

"Iya!" Nala masih kewalahan menjauhkan kucing mungil itu dari wajahnya.

"Dan namanya Kicung?" Sastra mendekatkan wajahnya ke wajah Kicung. Kucing itu sontak membeku, kemudian segera panik ketakutan. Kucing memang salah satu hewan yang dapat melihat hantu, bahkan dipercaya memiliki kemampuan untuk mengusir mereka ... yah, meskipun reaksi Kicung barusan jelas-jelas tidak menggambarkan kekuatan pengusir hantu.

"Benar," jawab Nala. "Oh, dan terima kasih, Bang." Nala mengelus Kicung yang sekarang berhenti berontak, mendekam ketakutan dalam pelukannya.

Sastra menghela napas. Ada-ada saja, pikirnya, tidak hanya dirisak manusia, Nala ternyata juga ditindas oleh hewan. Namun, Sastra masih belum yakin. Ia melempar pertanyaan lain.

"Terus, matamu kenapa? Gara-gara Kicung juga?"

Nala bergeming. Gadis itu berjongkok dan mengambil sekantong plastik besar berisi kaleng timah bekas biskuit yang tergeletak di kakinya. Ia mengeluarkan kaleng itu dari plastik dengan serba kesulitan karena sebelah tangannya memegangi Kicung. Berikutnya, ia mengambil sekantung plastik berisi sereal dari tasnya. Ia menuang isi plastik itu ke dalam kaleng, berdoa dan memantik api.

"Sudah lama kan Abang tidak makan kudapan seperti ini?"

Aroma sedap menguar. Sastra tergoda. Terakhir kali ia memakan sesuatu sebagai hantu adalah beberapa tahun yang lalu. Itupun diberikan oleh orang yang sama, yaitu Nala.

Segenggam demi segenggam sereal yang dipersembahkan Nala muncul di hadapan Sastra, melayang turun dengan perlahan. Sastra menangkupkan kedua tangan, menampung sereal itu.

"Um, Nala. Sepertinya kau lupa piringnya," kata Sastra, kemudian mengepalkan sebelah tangannya. Ia meremas sebagian sereal itu menjadi serpihan yang lebih kecil.

Sastra melahap sereal itu dengan rakus. Lidahnya menari menikmati tekstur sereal itu, tetapi segera menjadi kelu. Ada yang tidak beres. "Nala," kata Sastra, menghentikan kunyahannya, "kenapa rasanya aneh?"

Nala terhenyak. Ia memeriksa kembali bungkus sereal itu, kemudian mengintip isi tasnya kembali. Ia menepuk dahi.

"Duh, maaf, Bang," kata Nala, seraya tangannya merogoh isi tas. Ia mengeluarkan sebungkus sereal lain, tetapi warnanya lebih pekat. "Yang Bang Sastra makan itu punya Kicung ... buat Abang yang ini."

Sastra menyemburkan isi mulutnya. Ya, setelah sekian lama tak makan, kudapan pertamanya adalah makanan kucing. "Sialan kau, Nala!" seru Sastra, "kau mau balas dendam, ya?"

Lihat selengkapnya