Nekrografi Sastra vol.1

Listian Nova
Chapter #5

Chapter 5: Awal Persahabatan (5)

Seorang hantu kakek-kakek melongok dari kerumunan hantu yang lain. Ia berseru, "Wah, gila! Bocah itu akhirnya benar-benar melakukannya!"

"Ya. Dia nekat mencampuri urusan manusia!" sahut seorang hantu nenek-nenek bergigi emas. 

"Jangan sampai dia ditangkap dan dihakimi," sahut yang lain, seorang hantu perempuan bergaun merah.

"Oleh siapa?" sahut seorang hantu gadis kecil yang usianya sebagai hantu sudah lebih dari 50 tahun. "Polisi Arwah sudah sibuk mengurusi hantu-hantu nakal di luar sana."

"Ya, tapi kalau anak-anak manusia itu celaka, pasti beritanya akan sampai juga kan?" sekarang ganti hantu pemuda bergigi tonggos yang bicara. "Aku harap bocah sok ganteng itu diseret ke peradilan. Biar tahu rasa."

"Ck, ah! Kau hanya iri kan, tonggos?" labrak hantu perempuan bergaun merah. "Aku dengar kau mati penasaran karena syok berat setelah ditolak janda tua. Hah, nenek-nenek saja menolakmu!"

"Siapa bilang? Aku mau, kok," sambar hantu nenek-nenek bergigi emas, mengedip-ngedipkan mata dengan bulu mata palsu yang nyaris sepanjang telunjuk.

"Oh, Debora! Aku bagaimana?" sahut hantu kakek-kakek dengan nada mengiba, kemudian tiba-tiba mengamuk ke arah hantu bergigi tonggos. "Dasar anak kurang ajar! Beraninya kau merayu orang tua!"

"Hei, dianya saja yang genit!"

"Hei, tua bangka! Aku tidak tua!"

Celetukan-celtukan penonton menjadi adu mulut dan segera menjadi keributan besar. Hantu-hantu lain ikut-ikutan, masing-masing kelompok dengan keributan mereka sendiri.

"Diaam!" Satu kata komando dengan nada setinggi delapan oktaf membisukan keributan dalam sekejap. Itulah kekutan suara Madam Butterfly, sang diva kelas dunia. "Diam, diam, diam! Lihat dan nikmati saja tontonan kalian! Lagipula, apa kalian tidak malu bergunjing di belakang? Anak itu sedang memperjuangkan kebenaran, melawan penindasan! Dan, oh dear, tidak bisakah kalian lihat benih-benih cinta di antara keduanya, yang akan tumbuh menjadi pohon kokoh yang bertahan diterpa badai seganas apapun?"

Hantu-hantu mulai saling berbicara lagi, riuh rendah mereka mengagumi orasi singkat Madam Butterfly.

Akan tetapi, Sastra tidak mengacuhkan semua itu. Ia masih berkonsentrasi untuk membiasakan dirinya dengan tubuh yang baru--tubuh Nala.

Rasanya aneh. Tubuh Sastra sebagai hantu rasanya ringan seperti anai-anai. Kemudian, tiba-tiba ia memiliki tubuh dengan daging yang bergerak, darah mengaliri pembuluh, paru-paru memompa udara dan jantung yang berdegup. 

Sementara itu, Rami dan ketiga keroconya tampak ragu dan sedikit takut. Mereka melihat Nala berbicara sendiri, kemudian bangkit berdiri dengan pembawaan yang sama sekali berbeda.

"Hei, apa dia benar-benar kerasukan?" tanya Lana pada saudari kembarnya, Lani.

Lani bergeming. Tak jelas ekspresi apakah yang sekarang berada di wajahnya; antara takut dan datar sama sekali.

"Jangan konyol," sahut Rami. "Kalian pikir hal-hal seperti itu nyata?" Rami meludah, kemudian memberikan komando. "Juan. Beri pecundang ini pelajaran."

Juan mengangguk, menyingkirkan segala keraguannya. Rami benar, pikir gadis bongsor itu, tidak ada yang namanya hantu, tidak juga dengan fenomens kerasukan. Juan melangkah dan berhenti sehasta di depan Nala yang menatap kosong ke arahnya. Tangan besar Juan berayun, melayang ke pipi Nala.

Namun tamparan Juan tidak pernah mendarat. Ia hanya memukul angin karena Nala, dengan begitu cekatan, menghindar dengan mundur selangkah.

"Oke, saatnya memberi kalian pelajaran," kata Nala, atau lebih tepatnya, kata Sastra. Ia telah terbiasa dengan tubuh barunya.

Juan terkekeh dan meludah ke arah Nala. "Apa yang kau bilang tadi, pecundang?"

Nala menghindari ludah Juan, lalu mengacungkan jari tengah. "Aku bilang, akan kuratakan pantatmu, gorila betina!"

Juan tersulut. Tinjunya meluncur, menyasar wajah Nala.

Nala menghindar ke samping, tinju berayun dari sisi tubuhnya. Sebuah pukulan jab meluncur tajam, membelah udara, menghantam dagu Juan dan menghasilkan bunyi yang renyah.

Juan termundur sempoyongan. Pukulan Nala telak, tetapi rupanya belum cukup. Gadis bongsor itu mengayunkan tinju sekali lagi. Kali ini ia melayangkan sebuah hook, pukulan kait menyamping.

Nala maju selangkah, menepis lengan kanan Juan dengan guard tangan kiri di pelipisnya. Tubuh atas meliuk memutar, kemudian uppercut kanan melayang, mendarat tepat di ulu hati Juan.

Juan jatuh berlutut. Napasnya sesak. Pandangannya menjadi kabur karena otaknya kekurangan oksigen.

"Ayo berdiri," kata Nala. "Aku belum menghajar pantatmu."

Juan mengerang, berusaha bangkit. Namun, sebelum gadis bongsor itu berhasil berdiri, tendangan rendah Nala mendarat di sisi Juan.

Juan terhempas ke samping lalu, seperti kijang melenting, Nala melompat dengan lutut terhunus. Lutut itu mendarat di wajah Juan, menciptakan bunyi debam yang memilukan.

Lihat selengkapnya