Nekrografi Sastra vol.1

Listian Nova
Chapter #6

Chapter 6 : Nala si Cenayang (1)

Matahari merangkak naik dari balik cakrawala di sebelah timur. Langit berwarna biru merambat, menelan pemandangan bintang-bintang dan bulan paruh di atas sana. Di berbagai titik, lampion-lampion listrik dipadamkan. Burung-burung yang bersarang di pepohonan rindang saling bersiul, meramaikan awal hari. Bulir-bulir embun memenuhi permukaan daun dan nisan-nisan, menahan hawa dingin agar tak lekas pergi.

"Kau embun pada segala daun. Aku sorot tinggi matahari. Setiap kali jemariku berhasil menjangkaumu, kau meruap bersama angin."

Sastra berpuisi. Seperti namanya--Sastra--ia pikir dirinya mungkin punya bakat dalam menyusun kata-kata.

"Tidak buruk," komentarnya pada diri sendiri. Biasanya, Madam Butterfly yang akan mengomentari racauannya, tapi hantu diva kelas dunia itu sedang sibuk berpesta di sisi lain Bukit Bintang sejak semalam tadi.

Ya, kalau diingat-ingat, tak banyak hantu yang berseliweran di sekitar makamnya malam tadi.

Sastra mengorek ingatannya. Malam tadi, selepas memberi pelajaran pada anak-anak berandalan itu, ia dan Nala menikmati bintang sampai tengah malam. Tak banyak tukar kata di antara mereka selama itu, karena Nala dengan cepat jatuh tidur sebelum terbangun tengah malam.

Anak itu, Nala, punya fisik yang lemah, pikir Sastra. Gerakan-gerakan yang dilakukan Sastra saat merasuki Nala membuat seluruh otot gadis itu kejang dan menguras nyaris seluruh staminanya.

Sastra tak bisa tidak cemas saat gadis itu memaksakan diri untuk pulang. Caranya berjalan saja lebih menyedihkan dari nenek-nenek tua renta. Akhirnya, malam tadi Sastra menggendong Nala sepanjang jalan dari makamnya ke muka gerbang pemakaman.

Sayangnya, Sastra tidak bisa mengantar Nala pulang sampai ke indekosnya. Sebab rantai gaib yang menghubungkan dada Sastra dengan nisannya hanya memanjang sampai sisi dalam gerbang pemakaman. Sastra sudah pernah mencoba melangkah keluar gerbang, tapi rantai itu menegang dan, tak peduli seberapa keras Sastra menariknya, tak bergerak seruas jari pun.

"Bang Sastra tidak bosan di sini?" kata Nala malam itu, masih bersandar di punggung Sastra.

"Pertanyaan konyol. Jelaslah aku bosan," sahut Sastra. Sebuah fakta. Ia bahkan nyaris gila karenanya.

"Kalau bisa keluar dari sini, apa yang akan Bang Sas lakukan?"

"Apa ya ... mungkin jalan-jalan," balas Sastra. "Ya. Jalan-jalan. Mungkin ada tempat-tempat yang bakal bikin ingatanku kembali."

Nala bergeming. Sastra terus melangkah sampai batas ulur maksimal rantainya.

"Nah, sudah sampai."

"Terima kasih." Nala melompat turun dari punggung Sastra. "Bang Sas, besok aku sudah mulai libur panjang. Aku akan membawa Abang keliling kota sepanjang liburan ini."

Sastra terperangah. "Bagaimana caranya?"

"Lihat saja nanti," balas Nala. Gadis itu segera berbalik dan berlari ke luar gerbang. Gerakannya sudah sedikit lebih baik daripada nenek-nenek. "Tunggu aku di makam Bang Sas, pagi-pagi sekali."

Sosok Nala lenyap di balik tembok beton tinggi. Sastra memandangi tembok itu dengan perasaan menerka-nerka.

Gemerincing bunyi lonceng menarik Sastra keluar dari lamunan. Ia menoleh ke arah bunyi itu berasal. 

Sosok Nala muncul dari balik undakan. Busananya bukan lagi seragam sekolah, tapi kaos lengan panjang berwarna coklat dengan motif garis-garis kuning. Ia mengenakan celana kodok berbahan jeans sebagai bawahan. Selain kedua busana itu, penampilannya masih sama. Sepatu dan tasnya sama dengan yang dipakainya kemarin. Model rambut masih sama, kecuali agak lebih rapi karena masih lembab. Sebelah matanya masih diperban, sedikit tertutupi kacamatanya yang memantulkan sebagian sorot matahari.

Nala terengah. Staminanya barangkali belum pulih benar sejak semalam. Ia berdiri setengah berjongkok, kedua tangan bertumpu pada lutut. Lonceng di gelang tangan kirinya mengilat-ngilat diterpa cahaya pagi.

"Nala. Padahal kita bisa berjumpa di depan gerbang pemakaman, loh," kata Sastra.

Nala terhenyak. Jelas sekali bahwa hal itu tak pernah terpikirkan oleh gadis itu. "Iya, juga ya ..." kata Nala, benar-benar terheran dengan dirinya sendiri.

"Aku mau bilang semalam, tapi kamu langsung pergi," sahut Sastra sambil terkekeh. Ia meloncat dari nisannya dan menghampiri Nala. "Nah, jadi bagaimana kamu akan membawaku pergi dari sini?"

"Oh, iya. Betul." Nala tiba-tiba bersemangat kembali. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas punggungnya: sebuah papan kayu persegi panjang seukuran dua jengkal berwarna gelap.

"Apa itu?"

"Papan memori." Nala menyengir seperti kuda.

Papan memori, bisa juga disebut dengan papan roh atau papan nama leluhur. Papan ini digunakan untuk mengukir nama almarhum dan diletakkan di altar sebagai bagian melaksanakan sembahyang leluhur. Tidak hanya nama almarhum, papan memori juga digunakan untuk mengukir nama-nama dewata tertentu; misalnya, yang paling utama, Kaisar Giok.

"Tunggu, tunggu," kata Sastra, "kau mau menulis namaku di situ?"

Lihat selengkapnya