Nekrografi Sastra vol.1

Listian Nova
Chapter #7

Chapter 7: Nala si Cenayang (2)

Pemandangan yang kali pertama dilihat Sastra adalah sederet pepohonan akasia di seberang jalan. Pohon-pohon besar itu menaungi seruas trotoar, di mana beberapa pejalan kaki terlihat berlalu lalang. Bulir-bulir kuning kembang akasia jatuh serupa hujan, menyulap pedestrian menjadi warna kuning. Bangku-bangku besi panjang tersusun di sepanjang sisi trotoar, berjarak kurang lebih tiga langkah satu sama lainnya. Bangku-bangku itu kosong, tertutup bulir kuning seperti jalanan. Pagar besi tinggi yang ditumbuhi berbagai tanaman merambat menjadi latar belakang seluruh pemandangan itu.

Sastra menghirup aroma di udara. Tidak ada asap hio di sini.

"Segar!" seru Sastra. Hantu tidak bernapas, tetapi bukan berarti mereka tidak menghidu.

Nala menyusul Sastra. Gadis itu berkacak pinggang. Senyum lebar terbentuk di wajahnya.

"Jadi, ke mana kita?" Sastra menelengkan wajah ke arah Nala.

"Kita naik skuter." Nala menunjuk sebuah parkiran kecil tanpa tembok di ujung jalan menurun.

Keduanya menyebrang jalan, ke trotoar di bawah naungan akasia. Sastra segera merapat ke pagar besi tinggi di ujung tepi trotoar itu, mengintip dunia di baliknya.

"Bagus, ya?" tanya Nala.

Sastra tidak segera menjawab. Di balik pagar itu adalah sebuah jurang dengan hamparan hutan di dasarnya. Setelah lautan pohon itu ada lautan beton; gedung-gedung menjulang tinggi, tak beraturan seperti sedang berlomba siapa yang dapat mencapai langit lebih dulu. Ia sama sekali tidak punya ingatan tentang masa hidupnya, jadi ia bertanya-tanya apakah Kota Melanpolis memang seperti ini sejak dulu.

"Entahlah," kata Sastra singkat. "Aku bingung mau bilang apa ... semuanya terasa asing."

"Tidak apa. Setelah kita keliling nanti, pasti ada tempat-tempat yang dikenali Bang Sas."

Sastra tersenyum. "Benar."

Keduanya sampai di parkiran di ujung jalan. Nala mendekati sebuah motor skuter berwarna hijau gelap. Keadaan kendaraan itu menyedihkan: cat-cat terkelupas, gagang spion patah yang diselotip, pelindung lampu yang pecah, dan ban yang nyaris mulus.

"Maaf, ya. Skuternya butut." Nala mengenakan helm. Pelindung kepala itu tak kalah menyedihkan. Kacanya terbelah dan diselotip. Pelapisnya yang terbuat dari kulit sintetis terkelupas di sana-sini.

"Nala ... memangnya, berapa umur kendaraan ini?"

"Setahun."

"Wew! Biar aku tebak ... Rami dan kawan-kawan yang membuatnya seperti ini?"

"Oh, bukan," balas Nala. "Ini motor bekas. Aku sengaja beli yang jelek seperti ini biar tidak ada lagi yang bisa diusili oleh mereka."

Sastra terdiam. Ia tidak tahu apakah yang dikatakan Nala barusan adalah ide yang jenius atau konyol.

Mesin skuter menyala dan, tidak seperti penampilannya, mesin itu meraung dengan baik. Tidak ada deru yang ganjil. Benar-benar mulus.

"Luarnya memang jelek, tapi dalamnya bagus, kok." Nala menunggangi kendaraan itu. Kepalanya meneleng, menunjuk ke dudukan penumpang. "Yuk," ajaknya.

Sastra duduk di dudukan itu. Busa joknya keras, tetapi untunglah dirinya bisa menembus benda padat. Ia menepuk pundak Nala, lalu berkata dengan nada yang cukup sinis, "Nala, motor ini benar bisa jalan?"

Nala tersenyum licik. Tanpa berkata apapun, ia menarik tuas gas sampai maksimal. Skuter itu melesak seperti roket, melambungkan Sastra ke udara.

"Nala! Pelan-pelan, Nala!" pekik Sastra. Kedua tangannya mencengkram pundak Nala sementara tubuhnya masih melambung di udara.

Akan tetapi, Nala terus meluncur di jalan raya yang sepi. Semakin cepat dan cepat, membuat Sastra menggelepar seperti bendera berkibar di pundak Nala.

***

Tidak butuh waktu lama bagi Nala untuk menuruni Bukit Bintang dan memasuki jalan besar kota. Gadis itu mengemudikan skuter butut itu dengan amat lihai. Bahkan, dalam keadaan ramai kendaraan, Nala masih bisa mempertahankan kelajuannya.

Sampai di sebuah deret pertokoan, Nala akhirnya sedikit melambat. Gadis itu menarik tuas rem depan sambil sedikit memiringkan sekuternya. Roda kendaraan itu berhenti berputar, tetapi keseluruhan skuter terus bergerak dan akhirnya berhenti di ruang kosong antara motor-motor lain yang sedang terparkir.

Sastra meloncat dari jok. Lututnya bergetar. Perjalanan mengerikan tadi membuatnya lupa bahwa dirinya adalah seorang hantu yang seharusnya bisa menembus benda-benda padat.

"Gila kau Nala! Memangnya kamu akrobatik tong setan?!" seru Sastra.

"Tong setan, ya? Aku belum pernah coba, sih, tapi kayaknya aku bisa." Nala menjawab dengan polosnya.

"Heh, bocah! Itu tadi bukan pujian!" Jentikan Sastra mendarat di dahi Nala.

"Aduh, duh! Maaf, Bang!"

Sastra menghela napas. "Ya sudahlah ... jadi, ini tempat apa?"

"Ini salah satu distrik bisnis lama di Melanpolis." Nala mulai menjelaskan sambil mengelus-elus dahinya. "Ini salah satu yang terkenal, tapi sudah banyak ditinggalkan setelah banyak mall dan pusat perbelanjaan dibangun di pusat kota sana. Barangkali Bang Sas punya kenangan di sini."

Sastra mengedarkan pandangannya ke sekitar, berusaha mengorek-ngorek ingatannya sebelum mati. Namun, akhirnya ia menyerah.

"Tidak ingat," kata Sastra, lalu menambahkan, "tapi aku familiar dengan aroma ini."

Lihat selengkapnya