Sastra menggerakkan kaki Nala melangkah maju. Suaranya berat, nada mengancam. "Baru saja semalam, Lani," ucapnya, "dan kau sudah melanggar janjimu."
Lani berlutut. Gadis itu bahkan sampai menundukkan kepalanya ke lantai. Rok, lengan jaket, dan rambutnya menyentuh lantai semen yang becek dan sedikit berlumpur.
"Maafkan aku," rengeknya, "maafkan aku Nala ... dan arwah leluhur ...."
Sastra sedikit terkejut mendengar perkataan Lani barusan. Gadis itu rupanya sudah tahu ada entitas astral yang membersamai Nala. Akan tetapi, hantu itu tidak peduli. Ia terus menggerakkan tubuh Nala ke arah Lani. Ia ingin memberikan gadis itu setidaknya satu tamparan seperti yang ia lakukan pada saudari kembarnya, Lana.
Sastra menggerak-gerakkan telapak tangan kanan Nala, melemaskan otot dan persendian tangannya. Namun dua langkah kemudian, Sastra tiba-tiba tak dapat menggerakkan kaki Nala.
Apakah ini fenomena seperti malam tadi?
Rupanya bukan. Kali ini, Nala sendiri yang mencegah tubuhnya dikendalikan oleh Sastra. Gadis itu mencengkram tangan kanannya sendiri dengan tangan kiri, menurunkan tinju mengepal itu ke sisi tubuhnya.
Sastra mulai kehilangan kendali atas tubuh Nala, tetapi arwahnya masih berada dalam tubuh gadis itu. Ia masih dapat melihat apa yang dilihat Nala, dan hanya itu yang bisa dilakukannya. Rasanya seperti tersegel dalam patung terakota.
"Tenang, Bang Sas," kata Nala pada dirinya sendiri. Langkahnya berlanjut bergerak menuju Lani, berhenti lalu berjongkok.
Nala menyentuh pundak Lani dengan lembut. Lani mendongak, mengintip dari balik gerai rambutnya yang basah dan berpasir.
"Aku maafkan," kata Nala, memancing reaksi protes dari Sastra dalam tubuhnya. Namun gadis itu berhasil menekan Sastra dalam tubuhnya. Nala berkata lagi, "Tapi ada leluhur yang sudah kamu buat marah. Dia tidak bisa memaafkan kamu."
"Hei! Siapa yang leluhur?" seru Sastra dalam kepala Nala. "Aku masih muda, tahu!"
Tubuh Lani bergetar. Ia berusaha menatap mata Nala dan berkata lambat, "Bagaimana agar aku dimaafkan?"
"Bang, bagaimana?" tanya Nala pada dirinya sendiri.
"Bagaimana apanya?" jawab Sastra dengan nada tinggi. "Aku tidak akan memaafkan berandalan itu."
"Maaf, Lani. Dia tidak mau memaafkan kamu," Lana menyampaikan kata-kata Sastra.
Nala berdiri. Ia mulai berbalik meninggalkan Lani yang tersuruk di lantai basah dan dingin.
"Tunggu, Nala," cegah Sastra, "Kamu tidak ingin tahu alasan dia menguntit?"
"Oh, iya!" Nala segera berbalik, berjongkok kembali. "Kenapa kamu mengikuti aku, Lani?"
"Aku ... aku ingin minta tolong," balas Lani. Wajahnya terlihat kebingungan.
"Dasar bocah tengil," seru Sastra, masih dalam kepala Nala. "Kau seperti tidak punya rasa bersalah pada Nala! Minta maafmu itu palsu!"
"Maaf Lani. Biarpun aku mau membantumu, arwah leluhur ini tidak akan membolehkan aku." Nala menunjuk dadanya, mengisyaratkan kehadiran Sastra dalam dirinya.
"Hei! Aku bukan leluhurmu, Nala!" Sastra mulai merasa frustasi.
"Tolong aku Nala! Aku mohon! Cuma Nala yang bisa menolongku ...." Lani merajuk. Matanya berkaca-kaca. Saat itu roknya telah menyerap lebih banyak air dari lantai. Jaketnya yang putih ternoda oleh pasir dan lumpur di mana-mana.
Melihat keadaan Lani, Nala jadi tak tega. Akan tetapi, ia juga merasa tak enakan pada Sastra.
"Bagaimana, nih, Bang Sas?" Nala memelas.
Sastra menghela napas. Selain melihat apa yang dilihat oleh Nala, ia juga bisa merasakan emosi Nala. Saat itu emosi Nala menjadi sangat kuat; rasa kasihan dan tak tega bercampur dengan tekad untuk menolong orang lain. Gadis itu benar-benar polos, pikir Sastra.
"Yah, terserah kamu sajalah, Nala ...." Sastra akhirnya menyerah.
"Terima kasih, Bang Sas!" Nala tersenyum bahagia. Ia melepaskan Sastra dari tubuhnya, membiarkan hantu itu melayang-layang seperti kapuk di udara.