Nala melambatkan kendaraan di depan pos jaga. Petugas keamanan yang menyadari sosok Nala memberi senyum ramah dan tanpa diminta membukakan portal yang menutup jalur masuk ke apartemen. Nala meluncur masuk, tak lupa membalas senyum petugas dengan cengir kuda.
Kendaraan Nala bergerak menuju basemen, ke area parkir. Meskipun berada di bawah tanah, area basemen itu terang benderang disirami cahaya-cahaya lampu dari berbagai titik. Lantai dan tembok dicat putih, memantulkan cahaya dengan sangat baik dan membuat mobil-mobil mewah yang terparkir di sana terlihat sangat mencolok. Mobil-mobil itu dibatasi garis-garis putih di lantai, lampu terang menyorot di atas dan membuat kendaraan-kendaraan itu seperti pajangan di galeri seni.
Selama perjalanan melewati area parkir itu, Sastra dan Lani sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sastra merasakan sesuatu yang familiar saat melihat jajaran kendaraan itu dan berusaha mengorek-ngorek ingatannya yang tak kunjung tergali. Lani menyebut satu persatu merk dan model mobil-mobil itu dan tergagap saat menyebutkan beberapa model yang rupanya yang edisi terbatas. Sementara itu, Nala bersiul-siul santai, tak acuh pada gemerlap kemewahan dunia di sekelilingnya.
Nala memacu skuternya melewati barisan mobil-mobil kenamaan itu. Ia berhenti di area parkir motor, yang tentu saja dipenuhi motor-motor besar yang harganya mungkin lebih mahal dari mobil-mobil di area sebelumnya. Nala memarkirkan skuter bututnya di sebuah petak kosong. Kendaraan itu seperti sebuah anatema; noda kotor di antara gemerlap kemewahan.
"Yuk," ajak Nala. Ia menggamit lengan Lani, menyeretnya menuju sebuah lift. Sastra masih dalam wujud bola api, melayang-layang di bahu Nala.
Nala menekan tombol 18 di sebelah pintu lift, masih bersiul-siul santai, tetapi dengan lagu yang berbeda. Lani menunduk, menatap lantai yang tertutupi karpet tebal. Sementara itu, Sastra memperhatikan sekitar, mengagumi interior lift yang didominasi warna emas mengilap, yang lagi-lagi membangkitkan perasaan familiar dalam dirinya.
Sastra merenung. Apakah dirinya pernah menjadi bagian dari dunia gemerlap ini semasa hidupnya?
Lift bergerak dengan lembut ke atas, memberikan sensasi geli yang disebabkan oleh inersia. Sastra dan Lani mengalihkan perhatian mereka saat lift mencapai dua lantai di atas permukaan tanah. Dinding lift menjadi transparan ketika terkena cahaya dari luar, memperlihatkan pemandangan Kota Melanpolis dari ketinggian.
"Indah sekali," komentar Sastra. Wajahnya menempel di dinding lift.
Apartemen tempat mereka berada sekarang berada di antara pusat kota dan daerah pinggiran. Pemandangan yang sekarang dilihat Sastra adalah pemandangan pusat kota. Tidak seperti yang dilihatnya dari Bukit Bintang, pemandangan pusat kota dari sini benar-benar menggambarkan pesona Kota Melanpolis yang dibalut modernisasi.
Lift berhenti di lantai 18. Nala melangkah keluar, diikuti Lani yang tiba-tiba menjadi sangat pemalu. Sastra masih melayang-layang di pundak Nala, memperhatikan sekitar.
Mereka menyusuri koridor besar berkarpet merah. Lampu-lampu kecil bersinar di sepanjang langit-langit, membalur seisi koridor dengan cahaya keemasan yang hangat. Koridor itu jadi tampak elegan, tetapi sepi; sangat sepi, bahkan lebih sunyi dari kuburan.
Nala berhenti di depan sebuah pintu bertajuk 99. Ia menekan beberapa tombol di layar yang berada di gagang pintu lalu menempelkan ibu jari di pangkal tuas pintu. Layar itu berkedip. Nala memutar tuas dan membuka pintu, menyibak ruangan besar penuh furnitur mewah.
"Lani, mandi dulu, ya," kata Nala, menunjuk ke kiri. "Kamar mandinya ada di sebelah sana. Nanti aku antarkan bajunya."
Lani mengangguk. Seperti terhipnosis, ia berjalan ke arah yang ditunjuk Nala.
Sastra masuk lebih dalam, menyusuri ruangan itu seperti rumahnya sendiri. "Gila," decaknya kagum, "Apanya yang indekos murah, Nala?"
Nala menyengir. "Yah, setahun lalu aku memang tidak tinggal di sini, Bang. Di indekos tua sekitar sini juga."
"Oh, ya? Terus bagaimana kamu bisa dapat apartemen ini?" Sastra kembali ke wujud aslinya, merebahkan diri ke atas sofa panjang yang empuk.
"Dipinjamkan sepupu," balas Nala singkat.
"Sepupumu konglomerat?"
Nala menggeleng. "Cenayang profesional."
Sastra terduduk karena kaget. "Serius?"
Nala mengangguk. "Betul, Bang. Jangan heran. Cenayang profesional punya banyak duit. Ki Joko Pinter misalnya, terkenal karena punya wastu ratusan hektar dan puluhan koleksi mobil sport."
Sastra melongo. Gambarannya tentang cenayang yang nyentrik dan dikucilkan masyarakat hancur sudah. Di zaman ini, cenayang rupanya sebuah profesi yang sangat menjanjikan ... atau mungkin dari dulu seperti itu dan dia hanya tidak menyadarinya?
"Oh, ya. Omong-omong, aku minta maaf, ya, Bang," kata Nala lagi.
"Kenapa?"
"Ya ... karena aku kan sudah janji mau ajak Abang keliling, tapi ..."
"Oh, tak masalah," Sastra memotong, "Ini juga masih terhitung jalan-jalan, kok. Lagipula, aku merasa ada yang familiar waktu masuk ke sini."
"Oh, ya? Apa ada yang berhasil diingat?" Nala sumringah.