Nekrografi Sastra vol.1

Listian Nova
Chapter #11

Chapter 11: Nala si Cenayang (6)

Gelas kaca berisi teh hangat itu bergeser di atas meja sesuai gerakan tangan Lani. Gadis itu bahkan membuat gelasnya melayang di udara lalu berputar 180 derajat tanpa sedikit pun cairan teh yang tumpah.

Telekinesis. Itulah kekuatan misterius yang dirasakan Sastra malam tadi. Kekuatan yang menahan gerakannya mendekati Lani.

Sastra bergeming setengah tak percaya. Sementara itu, Nala memperhatikan dengan antusias. Bagi Nala yang memiliki keluarga besar yang semuanya cenayang, barangkali fenomena di depan matanya bukan sesuatu yang aneh. Konon, seorang Sinsang berilmu tinggi bahkan dapat memanipulasi cuaca.

Gelas Lani akhirnya kembali ke posisi semula di atas meja. Sebulir keringat terbentuk di dahi Lani, melorot dan terserap dalam rambut-rambut alisnya yang tebal.

"Inilah rahasiaku," ujar Lani, "Saat di sekolah mulai marak dengan fenomena freak hunt, aku segera bergabung dengan kelompok Rami ... mudah saja, karena Lana sudah lama bergerombol dengan mereka."

"Freak hunt?" tanya Sastra.

"Geng-geng perundung itu memburu anak-anak yang ... berbeda," balas Nala enggan.

Sastra langsung mengerti. Anak-anak berbeda artinya mereka yang memiliki kekuatan unik seperti Nala. Ia mendengarkan kembali.

"Ya ... dan aku menjauhi Nala semata-mata bukan karena Nala adalah anak indigo, tapi karena aku sendiri anak aneh dan aku benar-benar takut dirundung," lanjut Lani, "Aku tahu aku memang pengecut ... dan aku akan paham kalau Nala menolak untuk membantuku."

"Benar. Anak ini cari aman sendiri," komentar Sastra. "Dan lagi, di tidak cuma menjauhimu, Nala. Dia ikut menindasmu bersama geng berandalan itu."

Nala memegangi sebelah matanya yang masih diselubungi eye-patch. Mata itu dijotos Rami beberapa hari yang lalu dan nyerinya masih bertahan. Di satu sisi, Nala juga tahu benar bagaimana rasanya diasingkan karena jadi orang yang berbeda. Ia sedikit memahami tindakan Lani yang bergabung dengan Rami si perundung. Sebelum dirisak, jadilah perisak, begitu kira-kira.

"Yah, aku sudah memaafkan bagian yang itu, Lani," kata Nala, benar-benar tulus. "Dan aku akan tidak berubah pikiran. Aku akan menolongmu ... sebisaku.

"Benarkah?" Manik mata Lani berbinar.

Nala mengangguk. Sastra memincingkan mata dengan sinis, berharap kebaikan Nala tidak akan dimanfaatkan Lani.

"Jadi, apa masalahmu sebenarnya?"

"Mama ...." Lani terbata. "Ibuku kerasukan, Nala."

Nala terhenyak. "Kamu yakin, Lani?"

"Yakin, Nala. Aku bisa merasakannya ... persis seperti aku merasakan arwah leluhur di sini." Lani melirik ke arah Sastra dengan tatapan sungkan.

Sastra memasukkan telunjuk ke dalam lubang hidungnya, menjulurkan lidah untuk mengejek Lani. "Dia benar, Nala. Anak ini bisa merasakan aku, tapi tidak bisa melihat atau mendengarku."

Nala mengangguk, mengonfirmasi Sastra. "Nama arwah leluhur ini adalah Sastra ... aku lupa memperkenalkan kalian."

"Tidak perlu," sahut Sastra ketus, "Oh, dan jangan panggil aku leluhur lagi, dong!"

Lani bersoja. Ia membungkuk tiga kali ke arah Sastra. "Salam hormat, leluhur."

"Katanya, jangan panggil dia leluhur," potong Nala. "Kau bisa panggil dia ...."

"Bos!" Ganti Sastra yang memotong.

"... Bos ...," sambung Nala. Menahan tawanya.

"Baiklah. Salam hormat, Bos!" Lani membungkuk lagi tiga kali.

Sastra tertawa. "Bagus, bagus. Anak ini penurut."

"Nah, baiklah. Aku akan coba membantu masalah ibumu." Nala berdiri dari kursinya.

"Sekarang?" Lani memastikan.

"Ya, sekarang. Mumpung masih siang." Nala menyambar tas dan kunci motor yang tergeletak di sofa. Lani mengekor di belakang, tak bisa berkata-kata lagi.

"Kau yakin mau berurusan dengan kasus ini, Nala?" ucap Sastra yang sudah berubah wujud jadi bola api. "Kau tidak mau jadi Sinsang ... tidak mau jadi cenayang, kan?"

Nala berbisik, "Yah, aku menolong Lani sebagai teman, bukan cenayang."

Sastra tersenyum tanpa sadar. Dia benar-benar mengagumi ketulusan Nala.

Lihat selengkapnya