"Mungkin orang lain bisa kau bohongi, Nduk. Tapi tidak dengan Nenek," kata nenek, sembari tersenyum tipis. Lebih tepatnya seperti menyeringai.
Ibu mertua menatapku dengan kesal. Merasa sudah dibohongi olehku. Padahal, ini permintaan anaknya agar aku tidak menceritakan hari kelahiranku yang sebenarnya pada mereka semua.
"Tubuhmu itu sangat harum, Nduk. Kau itu bisa menjadi incaran orang-orang dan makhluk-makhluk jahat. Untung saja kau sekarang berada di keluarga yang benar," kata nenek dengan keyakinan yang tak dibuat-buat.
Keluarga yang benar? Apa tidak salah? Kebiasaan nenek yang suka memakan janin, tentu saja itu bukan sesuatu yang benar.
"Iya, Nek." Aku terpaksa setuju dengan ucapan nenek. Tak enak rasanya jika membantah atau mendebat.
"Kau tidak percaya dengan keluarga ini, Nduk?" tanya nenek tiba-tiba.
"Per-percaya, Nek."
"Kau tidak boleh gampang percaya seperti itu. Ada saatnya orang-orang di sekitarmu itu tidak boleh kau percaya." Nenek menghela napas, lalu matanya seperti sedang menerawang entah ke mana.
"Maksudnya, Nek?" tanyaku tak mengerti.
"Dalam situasi tertentu, kau harus bijak memilih orang-orang yang patut kau percayai."
"Termasuk sekarang?" tanyaku memastikan.
"Ya."
"Jadi yang memberiku plastik hitam itu bukan Nenek?" Aku jadi memikirkan kejadian siang tadi.
"Nenek lupa. Mungkin Nenek mulai pikun. Pikirkanlah sendiri, Nduk."
"Terus kenapa Nenek bisa memakan janin?" Aku terus bertanya. Aku memang orang yang selalu penasaran dan ingin cepat tahu.
"Kamu itu terlalu banyak bertanya!" bentak ibu mertuaku.
"Kau jangan membentak dia. Kau di sini hanya menantu. Dia pun juga menantumu, bukan?" tanya nenek pada ibu mertuaku.
"Maaf, Nek."
***
Malam semakin larut, tapi aku belum bisa menidurkan diri ini. Mas Arka sudah tidur sedari tadi. Mungkin badannya capek karena seharian bekerja di kebun. Sementara aku, masih membayangkan semua hal aneh di rumah ini.
Aku memutuskan keluar dari kamar. Entah kenapa tenggorokanku terasa sangat haus. Aku berjalan ke arah dapur. Lampu semuanya mati, gelap sekali. Namun, aku melihat di dapur lampunya menyala.
"Bik, lagi ngapain?" tanyaku, Bik Lasmi sedang duduk di meja dekat dapur.
Bik Lasmi terus menunduk. Tak menjawab sepatah kata pun. Aku berjalan semakin mendekat.
"Bik?" tanyaku sembari menurunkan wajahku agar bisa melihat wajah Bik Lasmi.
"Tolong aku, Mbak ...." Suara itu begitu lirih. Wajah Bik Lasmi mendongak. Terlihat raut kesedihan.
"Tolong apa, Bik?" tanyaku lagi.
Krettt! Suara pintu terbuka. Sepertinya itu dari kamar ibu mertuaku. Aku menoleh ke arah belakang.
"Buk?" Aku menyapanya.
"Kamu lagi ngapain, Nduk?" tanya ibu.
"Ini ngobrol sama Bik Lasmi."
"Bik Lasmi?" Ibu mertuaku memicingkan matanya.