Saat ini Larasati tengah terbaring tak sadarkan diri lagi di atas ranjang. Pak ustadz Ahmad sudah berada di sini, rupanya beliau membawa istrinya untuk membantu meruqyah istriku.
Kami berempat bersama Mang Komar juga berada di kamar Larasati. Larasati di tempatkan di tengah-tengah ruangan sehingga kami dapat mengelilinginya.
Kata Ustadz Ahmad jika sosok yang ada pada tubuh istriku murka atas sikapku. Dia memberontak sampai berani melukai istriku. Luka gores itu kini justru semakin memanjang sehingga sesaat dalam ketidak sadarannya Larasati mengerang kesakitan.
"Saya mohon semuanya fokus. Berdzikir di dalam hati. Ucapkan kalimat syahadat, ayat kursi, serta tahlil. Jangan berhenti jika ada suara aneh mengusik indera pendengaran kalian." Tiba-tiba Ustadz Ahmad mengintruksikan hal itu. Jantungku berdebar, mencoba mengikuti arahan dari beliau.
Sempat kulihat Mang Komar, Ustadzah Halimah dan ustadz Ahmad sudah menutup mata seraya membaca apa yang tadi disarankan ustad Ahmad. Kemudian aku pun mengikutinya.
Dalam beberapa menit tiba-tiba aku mendengar suara erangan Larasati. Dengan spontan aku membuka mata seraya hendak menggapai tubuhnya yang menggelinjang.
"Jangan!" sergah ustadz Ahmad padaku.
Aku pun menoleh pada Ustadz Ahmad. "Kenapa?"
"Biarkan dia begitu, itu efek dari bacaan kalimat Allah dan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang kita baca. Sebaiknya Pak Santanu lekas lanjutkan," perintahnya. Sejujurnya aku tak tega melihat Larasati menggelinjang di atas tempat tidur sambil meraung kesakitan. Namun, jika untuk kesembuhannya aku pun menuruti.
Kembali aku memejamkan mata walau terkadang aku menyipit untuk melihat proses selanjutnya.
"Akkhh." Larasati berteriak kesakitan. Matanya berubah merah lalu tiba-tiba tubuhnya duduk menjadi tegak.
Mendadak Laras berhenti dari raungannya, kepalanya tertunduk dengan rambut terjuntai ke depan. Hening, yang terdengar hanya suara Ustadz Ahmad membaca ayat-ayat ruqyah dibantu istrinya. Kemudian Laras tertawa bak tawa seorang nenek-nenek. Aku dan Mang Komar terkejut sampai-sampai kami berdua tak melanjutkan bacaan doa dan malah berdiri terbengong dengan perasaan takut.
"Kau berani juga. Hihihi." itu suara nenek-nenek di tubuh istriku. Rupanya dia bertanya pada Ustadz Ahmad.
"Lepaskanlah dia, jangan kau siksa dia!" jawab Ustadz Ahmad, membuat aku celingukan melirik ke arah istriku lantas pada Ustadz Ahmad.