Nenek Tua di Tubuh Istriku

Ilma Nurfadilah
Chapter #4

Melawan Teror

   Pagi ini kulihat Laras tengah sibuk menyiapkan sarapan, sedang aku bersiap-siap menyiapkan berkas-berkas untuk kubawa ke kantor. Ini hari pertama aku bekerja lagi usai mengambil cuti satu Minggu. Lalu tiba-tiba istriku datang membawakan secangkir kopi hitam panas dan meletakkannya di atas meja depan rumah. 

"Yah, itu kopinya Mamah siapin di meja depan ya, mau sarapan di mana, di sini apa di depan rumah sekaligus ngopi?" tanya dirinya. Lalu kujawab. "Di ruang makan dulu saja, tapi tunggu ayah ngopi dulu ya." 

Ia pun mengangguk lalu kembali ke dapur. Sikap Larasati memang berbeda kemarin tetapi dia sudah tak merengek kembali untuk pindah dari sini. Bukan hanya ingin belajar mengaji pada Ustadz Ahmad melainkan masih banyak pertimbangan dari mulai keuangan, pindah barang-barang juga tempat murah dan strategis. Akhirnya Laras mengerti dan mengalah. 

Kuteguk sedikit kopi buatan istriku.

"Euuuhh." Sedikit aneh. Mengapa kopinya terasa aneh, pahit tetapi tak terlalu. Manisnya hanya sedikit. Apa yang ditambah Laras pada kopiku. Akhirnya aku tak melanjutkan meminum kopi lalu aku menghampiri istriku di dapur dan duduk di kursi meja makan.

"Sayang!" sapaku. Laras melirik sekilas lalu fokus lagi dengan nasi goreng yang sedikit lagi sepertinya beres. 

"Apa?" 

"Apa yang kamu tambahkan ke dalam kopi?" 

Laras mengernyitkan dahinya. Lalu menatapku tajam. "Ayah menuduh mamah meracuni Ayah?"

"Enggak, buka begitu, tapi rasanya aneh, pahang gitu, Mah."

"Sini Mamah coba, awas kalau cuma akal-akalan Ayah!" 

Laras pun berjalan ke arah meja depan rumah. Lalu ia kembali menghampiriku dengan cangkir di tangannya. Ketika sampai ia menatapku tajam lantas meneguk setengah kopi itu. Ia terdiam walaupun tak menampilkan ekspresi apa pun.

"Enak gini di sebut pahit pahang. Dasar ayah, pagi-pagi mau ribut aja sama Mamah. Kenapa sih, Yah, semenjak Ayah kenal sama Ustadz itu bawaannya curigaan mulu ke Mamah!" 

"Astaghfirullah, enggak Mamah, siapa yang curigaan. Bener kok, tadi rasanya kayak ada pahit seperti ditambahi daun apa ... ya ... Ah, iya, daun dari bunga melati."

"Haha. Apaan sih, enggak lucu. Udah sana berangkat kerja. Kurang kerjaan banget mamah harus campur kopi sama kembang melati, khasiatnya apa?" 

Aku masih terheran-heran, akhirnya untuk memenuhi rasa penasaranku, kucoba kembali meminum kopi tersebut yang alangkah terkejutnya aku karena rasa kopi itu masih tetap sama seperti awal aku meminumnya. Bahkan, aroma melatinya kini lebih kontras tercium. Lalu mengapa ketika Laras meminumnya ia justru tak merasa apa-apa? Dia yang pura-pura atau memang hanya aku saja yang merasakan keanehan itu?

Lebih baik nanti aku coba konsultasi ke Ustadz Ahmad. Sekarang aku pergi kerja dulu.

"Ya sudah, sarapannya di kantor aja deh, maaf. Ayah harus segera berangkat takut kesiangan. Mamah baik-baik ya di rumah kalau ada apa-apa telepon Ayah langsung atau Kang Komar. Assalamualaikum."

"Heem," jawab Laras sekenanya. Aku menggeleng. Ia masih agak tak terima jika aku lebih rajin beribadah. Dia seperti jaga jarak denganku sekarang. Menjawab salam saja ogah-ogahan. 

Setelah pamit aku pun lekas memasuki mobil dan menjalankan kendaraan tersebut melaju sedang membelah jalanan kota Bandung. 

Lihat selengkapnya