Neng Zulfa: Menikah dengan Gus Dingin

Puput Pelangi
Chapter #3

Bab 2 - Soal Cucu

Zulfa Zahra El-Faza

“Neng? Neng?!”

Seseorang yang mengguncang tubuhku membawa kembali kesadaranku. Aku menoleh dan mendapati Dewi berdiri di sampingku, menyodorkan piring.

“Iya?” kataku mengambil piring itu.

“Neng kenapa kok sering banget ndak fokus? Ada yang Neng Zulfa pikirkan?” tanya Dewi sembari mengelapi piring yang akan digunakan keluarga ndalem makan. Kami ada di dapur sekarang. Sesekali ia melihat padaku sembari terus mengelapi piring-piring porselen itu.

“Tidak ada,” kilahku sembari menyelinginya dengan tawa, berharap Dewi percaya.

Bukannya tidak mau cerita, tetapi ini adalah masalah rumah tangga yang tidak boleh sembarangan kuceritakan pada orang lain, bahkan kedua orang tua maupun mertuaku. Tentu ini masalah yang sangat rawan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, meski itu hanya dalam pikiranku sendiri kalau-kalau ada yang tahu apa yang terjadi.

Aku melanjutkan pekerjaanku. Memindahkan lauk berupa ikan asin yang kugoreng tadi ke atas piring yang diserahkan Dewi tadi. Ikan asin ini favoritnya Abah Kiai—panggilanku pada ayah mertuaku sendiri lalu mengambil piring porselen lain untuk tempat bendoyo terong kegemaran Abah Kiai sekaligus Gus Fatih.

“Neng, cah kangkungnya sudah matang,” lapor Dewi.

Aku segera mengangguk lalu mengambil mangkuk besar untuk wadah tumisan itu. Setelahnya aku memindahkannya sendiri ke mangkuk yang kubawa.

“Sudah kamu cicipi rasanya, De?” tanyaku.

Dewi mengangguk.

“Bagaimana? Enak tidak?” cemasku memegangi mangkuk cah kangkung di tanganku. Ini masakan tumis pertamaku.

Dewi diam lalu mengangguk lirih. “Lumayan,” katanya membuat mulutku sedikit terbuka.

Aku langsung mencari sendok dan mencicipinya sendiri. Dan benar katanya, ‘lumayan’ karena bagiku rasanya biasa saja. Kalau dibandingkan masakannya, ini tidak ada apa-apanya.

“Tidak usah kecewa, Neng. Kiai, Bu Nyai, dan suami Neng pasti menghabiskannya.” Dewi tertawa. Aku meliriknya sehingga ia diam. “Lagi pula ini kan tumis kangkung pertama Neng Zulfa, keluarga ndalem pasti menghargainya.” Dewi merapatkan kedua giginya sembari menyengir kuda.

Aku menghela napas lalu meletakkan mangkuk yang ada di tanganku ke meja. Cah kangkung ini memang tumisan pertamaku. Dewi yang mengajariku. Kalau boleh jujur aku tidak pandai memasak. Menyentuh pekerjaan dapur saja sangat jarang karena sedari kecil aku sudah mondok. Masa MI-ku dulu aku nyantri di Lamongan, pengasuhnya teman Abah. Lalu selepasnya aku nyantri di pesantren keluarga suamiku ini sampai akhirnya menikah.

Kalaupun dulu liburan dan pulang ke Kediri, para santri putri yang jadi anak ndalem yang memasak, membantu Mbok Halimah. Kesempatanku hanya membikin wedang seperti teh, kopi, dan menggoreng-goreng makanan. Masakan sederhana yang bisa kubuat lainnya pun hanya nasi goreng, tidak ada yang lain.

Tidak tahu bagaimana nasibku kalau tidak ada Dewi. Aku pasti akan sangat malu di depan Gus Fatih dan mertuaku. Untung Dewi mau mengajariku. Aku jadi tidak perlu sungkan pada Ibu yang sedari awal tahu bagaimana kemampuan memasakku. Oleh karena itu, Ibu berniat mau mengajariku, tetapi aku tidak mau. Sekali lagi, sungkan, itulah yang menjadi alasanku.

“De, apa kita buat lagi, ya?” kataku pada Dewi yang tampak sibuk. Dia baru saja mengangkat bali endok yang jadi menu utama pagi ini dari kompor dan memindahkannya ke mangkuk. Jangan tanya! Tentu Dewi dan anak ndalem lainnya yang membuatnya. Aku tidak bisa. Ralat! Bukan tidak, ‘belum’ lebih tepatnya. Aku sudah berniat akan belajar memasak sampai bisa, setidaknya makanan yang biasa disantap keluarga suamiku. Siapa tahu aku bisa merebut hati Gus Fatih kalau dia memang tidak mencintaiku.

Ya Allah ... Gus Fatihku. Apa benar dia tidak mencintaiku?

“Tidak, Neng. Tidak usah. Cah kangkung buatan njenengan enak kok.” Dewi menepuk lenganku. Aku mengangkat kepalaku.

“Ya Allah! Jangan-jangan ini, ya, yang buat Neng sering melamun?!” pekik Dewi menatapku.

Aku membulatkan mata lalu segera menggelengkan kepala. Refleks, tetapi memang bukan itu penyebabnya. Dewi tidak tahu saja.

“Halah, terus apa coba? Sadar ndak kalau Neng Zulfa sampai punya kantung mata selain tambah pucat juga?” Dewi berkata.

Aku menundukkan kepala. Jadi sebenarnya Dewi melihatnya. Itu berarti santri lainnya pasti juga. Aku menoleh ke tempat bupet kaca penyimpanan piring. Benar. Ternyata wajahku yang kacau terlihat jelas dengan dua buah kantung mata di bawah kelopak, bahkan lingkaran hitam mengitarinya. Ya Allah! Padahal aku sudah berusaha menghilangkannya dengan kompresan es batu. Aku bahkan sampai memakai foundation sebelum bedakan tadi.

Aku menggelengkan kepala. "Memangnya begitu?" kataku dengan nada kubuat tidak percaya.

Bukannya menjawab, Dewi tersenyum lebar. Ia mendekatkan wajahnya padaku. “Karena Gus Fatih, ya?” bisiknya tepat di indra pendengarku.

Aku membeliak menatapnya. Bagaimana bisa Dewi mengetahuinya? Bukannya aku sudah berusaha tampil semringah di depan semua? Kenapa Dewi bisa mengatakan itu?

“Tidak, De,” bantahku cepat. Perasaanku sungguh sudah ketar-ketir sekarang melihat ekspresi wajahnya yang ‘anehnya’ malah terlihat seperti sedang menggoda.

Ada apa sebenarnya?

“Tiap hari Gus Fatih minta jatah, ya?” ucap Dewi tak dapat kupercaya.

Set!

Lihat selengkapnya