Zulfa Zahra El-Faza
Lamat-lamat kulihat bibir Gus Fatih membaca basmalah, kemudian dipegangnya dengan lembut ubun-ubunku dengan kedua tangannya, kudukku meremang merasakan sentuhannya.
“Allahumma inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha (Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya),” bisik Gus Fatih di puncak kepalaku. Persis seperti beberapa menit setelah ijab qabul kami berminggu-minggu lalu, saat ia menghampiriku di bilik kamarku yang ada di Kediri, kemudian menggandengku ke pelaminan.
Aku kembali menahan napas merasakan udara sejuk berembus dari mulut Gus Fatih di ubun-ubun kepalaku. Darahku berdesir. Kali ini dia mengecup keningku lama. Kami saling berpandangan lalu Gus Fatih menciumi seluruh wajahku, tangannya masih memegangi kepalaku.
“Uhibbuki fillah zaujati, insyaallah,” katanya kemudian mendekap tubuhku dalam pelukannya, erat.
Srek ….
Sebuah suara berhasil menyentakku. Duduk. Kudapati diriku habis berbaring di atas ranjang. Kutoleh sisi kanan. Kosong. Tidak ada Gus Fatih di sana. Bahkan seprainya masih terlihat rapi dan tidak kusut atau lecek sama sekali.
Mungkin hanya mimipi. Ya, cuma mimpi!
Aku membuang napas lalu menyalakan lampu meja bagian sisiku. Mengerjap, kudapati Gus Fatih menatapku. Kepalanya menoleh dengan tubuh menghadap rak sandal-sepatu plastik di dekat pintu, sebelah kakinya masih menjulur menyentuhnya. Sekarang aku tahu dari mana asal suara tadi. Gus Fatih pasti tak sengaja menyeret rak yang penuh sandal dan sepatu itu.
“Maaf,” lirihnya. “Kamu jadi terbangun.” Gus Fatih memutar badannya.
Aku mengangguk lalu melirik jam di dinding. Jam setengah dua belas malam. Gus Fatih pasti baru pulang dari rumah makan melihat pakaian yang ia kenakan masih sama dengan yang tadi siang sebelum pergi. Kaus hitam dengan celana dan jaket levis biru belel.
Aku bangkit. Menuangkan air ke gelas yang ada di meja kamar lalu berjalan ke arahnya, menyerahkan gelas itu. Tanpa ia minta aku masuk ke kamar mandi, menyiapkan air panas untuk keperluannya mandi. Gus Fatih sudah menghabiskan minumnya begitu aku kembali. Setelah aku menyiapkan handuk dan baju ganti, aku langsung berbaring lagi.
Jangan tanya kenapa aku tak menyiapkan makan malam. Gus Fatih pasti sudah makan di luar. Seperti biasa, ia pasti makan malam di rumah makannya yang ada di daerah Wonosalam.
Aku, Ibu, dan Abah Kiai sudah biasa makan ‘sendiri’ tiap tiga hari sekali begitu dia pergi—sebenarnya Gus Fatih yang lebih pantas disebut makan sendiri. Namun, aku punya alasan kenapa makan malamku bersama Ibu dan Abah Kiai yang kusebut ‘sendiri’. Alasannya tidak ada dirinya di sisiku—bisa jadi memang tidak akan ada, dalam arti yang lainnya.
“Belum bisa tidur lagi?” Gus Fatih baru keluar dari kamar mandi. Bagian bawah tubuhnya masih terbalut handuk dengan tubuh telanjang dada. Air masih terlihat mengucur dari kepala ke ruang di dahi putihnya.
Menelan ludah aku langsung memejamkan mata, tidak menyahut atau menganggukinya.
“Maaf, ya, hari ini pulangku lebih terlambat dari biasa, banyak urusan tadi.” Suara berat Gus Fatih mengalun lagi di telingaku.
Kulirik, ia sedang mengenakan baju. Meski belum terjadi itu di antara kami, ia sudah biasa seperti ini. Malah aku yang merasa risi sendiri saat melihatnya, mungkin. Dan sebenarnya aku juga. Toh, dia suamiku. Siapa tahu dia malah tertarik padaku saat melihatku, tetapi tidak. Sekali lagi. Hanya nihil.
Ya. Mungkin sikapku ini agresif, tetapi aku ini memang istrinya, kan?! Apa salahnya? Aku tidak bisa disebut melampaui batas karena ini. Tidak sama sekali.
Ceklek ….
Mataku terbuka berkat suara itu. Sedikit mengangkat kepala, kulihat Gus Fatih memasuki perpustakaan kecilnya lagi seperti biasa. Dia memasuki ruangan yang ada di samping kamar kami itu yang sebenarnya masih dalam satu ruangan.
Gus Fatih tidak pernah absen. Aku bahkan tidak ingat dia pernah berbaring di sampingku, kecuali setelah salat malam. Yang kusimpulkan dia pasti tidur juga sebentar di sana, baru keluar ambil wudu. Apalagi, salat Tahajud kan hanya diperbolehkan terlaksana jika sudah terlelap, meski sebentar saja. Waktu tidurnya pun berarti hanya sebentar. Entah bagaimana ia selalu tampak segar setiap harinya. Tidak sepertiku.
Jika aku menuruti suuzan, maka firasatku mengatakan Gus Fatih sedang mempermainkanku. Dia tidak serius dengan pernikahan ini. Kata-katanya kala itu hanya isapan jempol. Entah apa motifnya. Menurutku Gus Fatih tidak memiliki niat menikah denganku. Dia tidak mencintaiku. Gus Fatih tidak menganggapku.
Aku mengubah posisi tidur. Mencari posisi ternyaman. Tidak berpengaruh. Aku masih kesulitan terlelap lagi. Bahkan memejamkan mata. Tidak bisa.
Aku menyorot pintu yang menelan Gus Fatih di dalamnya sebelum menghela napas.
Apa aku yang tidak bisa mengertinya? Mungkin Gus Fatih punya alasan mengapa.