Lorong pelarian di bawah markas sempit dan gelap, hanya diterangi lampu darurat yang berkelap-kelip merah. Langkah kaki Arin dan Viera bergema cepat, dengan Nyx di belakang mereka, memeriksa setiap belokan sambil sesekali menoleh ke belakang. Suara pertarungan dari atas masih terdengar, samar, tapi menegangkan—jeritan baja yang membentur baja, letupan energi, dan teriakan teredam.
"Kenapa kita meninggalkannya?" tanya Viera, setengah marah, setengah panik. "Vex bisa mati di sana!"
"Kau tahu dia tidak akan membiarkan kita tinggal," jawab Arin, menahan napas di antara langkah cepat. "Dia butuh kita tetap hidup untuk melanjutkan."
Nyx menambahkan dengan nada datar, "Dan Vex bukan tipe orang yang mati mudah."
Mereka berhenti sejenak di percabangan lorong. Arin menarik pelacak holografik dari pergelangan tangannya. "Kita harus ke utara, ada jalur lama menuju distrik bawah."
Namun saat mereka hendak bergerak lagi, suara dentuman terdengar dari belakang. Dinding lorong retak, dan dari celahnya, semburan percikan api memancar.
"Tidak mungkin..." Nyx berbalik. "Dia mengejar kita?"
Viera mencengkeram kabel data yang ia simpan dalam rompi. "Jika Dahran mendapatkan ini, semuanya berakhir."
Arin menarik pelat logam dari dinding dan menekannya hingga menutup separuh lorong. "Kita harus memperlambatnya. Setidaknya beberapa menit."
Sementara itu, di atas, Vex terpental menghantam dinding markas yang kini sudah penuh lubang dan asap. Tubuhnya sakit, pernapasannya berat, tapi matanya tetap fokus.
Dahran mendekat perlahan, seperti mesin yang tak bisa dihentikan. "Kau melawan sistem. Kau menolak evolusi. Kau adalah anomali."
"Dan kau... hanya mesin yang lupa caranya menjadi manusia," desis Vex, menarik granat EMP kecil dari pinggangnya. Ia mengaktifkannya dan melempar tepat ke kaki Dahran.
Cahaya putih meledak tanpa suara, dan seketika tubuh Dahran terhuyung, sistemnya terguncang. Vex memanfaatkan jeda itu untuk melompat, menghujamkan belatinya ke celah armor di leher Dahran. Percikan api muncul, tapi tak cukup untuk menjatuhkan.
Dengan satu tebasan, Dahran menghempaskan Vex ke lantai. Tapi tubuh sang pemburu kini mulai bergetar, sinyalnya terganggu oleh EMP.
Vex tersenyum kecil di tengah darah yang menetes di pelipisnya. "Kau bukan tak terkalahkan."
Dahran mengangkat tangan, hendak menyelesaikan semuanya. Tapi saat itu juga, markas berguncang hebat. Arin, dari bawah, telah meledakkan pilar penyangga untuk menjatuhkan reruntuhan.
Langit-langit runtuh. Beton dan kabel listrik menghantam ruangan. Dahran menghilang di balik debu dan puing.
Vex bangkit dengan tubuh gemetar dan melarikan diri ke lorong bawah, melintasi terowongan yang hampir runtuh.
**
Beberapa waktu kemudian, mereka berkumpul di tempat aman—bunker tua peninggalan perang teknologi pertama. Dindingnya penuh coretan dan lumut digital dari koneksi usang. Di dalamnya, mereka akhirnya bisa bernapas.
"Vex?" tanya Viera dengan suara pelan.
Pintu terbuka perlahan. Vex masuk, pincang, dengan luka di pelipis dan satu lengan terbakar sebagian. Tapi dia masih berdiri.
"Kurasa aku butuh upgrade," katanya, mencoba bercanda.
Nyx membantu menopangnya ke tempat duduk. "Kau nyaris mati."
"Bukan pertama kalinya."
Arin menyalakan pemindai untuk mengecek luka. "Apa pun itu... kau harus istirahat. Tapi sebelum itu, kita harus memutuskan langkah berikutnya."
Viera membuka data yang berhasil ia bawa kabur. Ia memproyeksikannya ke udara. Tampak peta virtual kota Archeon, dengan puluhan titik merah menyala.
"Inilah semua pusat distribusi proyek Neon. Mereka sedang menyebarkan perangkat ke seluruh kota. Jika kita tidak menghentikan mereka..."
"Seluruh populasi akan dikendalikan," lanjut Vex pelan.
Sunyi sejenak memenuhi bunker. Namun di balik lelah dan luka, ada api baru di mata mereka.
"Dahran belum mati," kata Nyx. "Dan NexTech pasti sudah tahu kita masih hidup."
"Biarkan mereka tahu," jawab Vex, berdiri dengan pelan, menatap peta yang menyala. "Karena ini baru permulaan. Kita akan membakar sistem itu dari dalam."
Tiga hari telah berlalu sejak pelarian terakhir mereka. Kota Archeon tetap berdenyut dalam cahaya dan kebohongan, seolah tak terjadi apa-apa. Namun di bawah permukaan gemerlapnya, perang sunyi mulai bergerak.
Di tengah distrik eksekutif yang paling ketat keamanannya, empat sosok menyelinap dengan identitas baru. Nyx, mengenakan jas formal abu-abu dan lensa mata optik palsu, berjalan berdampingan dengan Arin yang kini berpenampilan sebagai teknisi sistem. Viera menyamar sebagai petugas logistik NexTech, lengkap dengan chip pengenal palsu, sementara Vex... menjadi yang paling mencolok.
Baju longgar model retro, jaket kulit hitam, rambut disisir rapi ke belakang, dan tatapan tak terbaca. Ia berbaur di antara para pejalan kaki korporat seperti aktor dalam drama.
"Masih tidak percaya kau setuju memakai dasi," bisik Arin lewat sambungan internal mereka.
Vex menyentuh dasi hitam tipis di lehernya. "Ini bukan dasi. Ini senjata. Kabel karbon fleksibel. Bisa memotong baja."
"Romantis sekali," sindir Nyx, setengah tertawa.
Mereka memasuki gedung NexCore — pusat integrasi data milik NexTech. Gedung itu menjulang tinggi, hampir tak tersentuh matahari karena kaca cermin hitamnya menyerap cahaya sekitar. Di dalam, teknologi pengenal wajah, sidik jari, bahkan pola berjalan, menjadi penghalang pertama. Namun berkat program Arin, mereka lolos setiap lapisan.
Lift bergerak pelan naik menuju lantai 87, tempat di mana otak dari proyek Neon disimpan. Di situlah semua data tentang distribusi, pemrograman kendali, dan rencana masa depan NexTech berada.
"Aku masih berpikir ini gila," gumam Viera. "Kita masuk ke sarang naga."
"Kita tidak akan membunuh naganya," balas Vex. "Kita akan mencuri jantungnya, dan membuatnya merangkak di depan semua orang."
Pintu lift terbuka. Lantai 87 sunyi, dengan cahaya biru dingin memancar dari panel kaca. Ruangan utama diisi dengan terminal data melayang dan silinder kaca berisi server hidup.