Setelah gelombang serangan besar itu mereda, Neon City berubah menjadi medan puing dan asap yang membumbung ke langit gelap. Lampu-lampu kota yang biasa berkilauan kini redup, tertutup oleh awan debu dan asap tebal. Di tengah kehancuran itu, Vex berdiri di atas reruntuhan sebuah gedung yang pernah menjadi pusat operasi pemberontak.
Ia menatap ke kejauhan, di mana beberapa anggota kelompoknya sibuk membantu korban dan memperbaiki pertahanan seadanya. Wajah-wajah letih namun penuh semangat itu membakar kembali api perjuangan di dalam dada Vex. Namun, ia tahu mereka belum aman. Ancaman 'Black Helix' masih mengintai, siap menerkam kapan saja.
"Kita harus cari tahu siapa pengkhianat itu," kata Vex, suaranya berat penuh tekad. "Kalau mereka bisa mengungkap lokasi markas baru kita, berarti ada yang membocorkan informasi."
Di sampingnya, Zaira mengangguk sambil memeriksa alat komunikasi yang sudah rusak karena serangan. "Aku sedang coba mengakses ulang data yang terpotong. Semoga bisa menemukan petunjuk siapa dalang di balik ini."
Malam semakin larut, tapi keduanya tetap terjaga, mengawasi pergerakan sekitar dengan waspada. Suara langkah kaki terdengar samar dari lorong gelap. Vex mengangkat tangannya memberi tanda berhenti.
Seorang pria bertopeng muncul dari kabut, membawa pesan rahasia. "Ini untukmu, Vex," katanya singkat sebelum menghilang lagi dalam kegelapan.
Vex membuka surat itu perlahan. Di dalamnya tertulis kode rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok pemberontak. Namun ada satu kalimat yang membuat jantungnya berdegup kencang:
"Waspadalah pada bayangan dalam kabut. Musuh terdekat bukan selalu yang tampak."
Zaira memandang Vex dengan mata penuh pertanyaan. "Apakah ini peringatan? Atau jebakan?"
Vex menarik napas panjang. "Kita harus lebih berhati-hati. Musuh bisa berada di antara kita, menyamar dan menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkan semuanya dari dalam."
Sementara itu, di sisi lain kota, seorang figur misterius mengamati melalui layar monitor canggih. Wajahnya tertutup bayangan, tapi matanya bersinar tajam penuh rencana licik.
"Kita sudah membuat mereka terdesak," gumamnya. "Tapi permainan belum selesai. Saatnya mengirim pasukan bayangan yang sesungguhnya."
Bayangan-bayangan itu mulai bergerak di bawah kabut tebal, tak terlihat oleh siapa pun. Mereka adalah pembunuh terlatih yang diutus untuk menyusup dan memusnahkan sisa pemberontak secara diam-diam.
Kembali ke markas, Vex dan Zaira bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Mereka tahu waktu terus berjalan, dan musuh semakin licik.
"Kita perlu mengubah strategi," ujar Zaira. "Serangan frontal tidak efektif lagi. Kita harus bermain dengan cara yang lebih cerdik."
Vex menatap teman-temannya yang mulai berkumpul kembali. "Ini bukan hanya soal bertahan, tapi juga menyerang balik dengan cara yang tak terduga."
Di tengah kabut dan bayangan malam, perjuangan mereka memasuki babak baru. Sebuah permainan kucing dan tikus di mana kepercayaan adalah senjata paling berharga — dan sekaligus paling rapuh.
Vex menutup mata sejenak, mengingat semua yang telah mereka lalui. "Neon City mungkin penuh dengan bahaya, tapi kita akan terus berjuang. Sampai cahaya benar-benar kembali."
Malam itu, di bawah langit kelabu, bayangan dalam kabut bergerak tanpa suara, membawa ancaman baru yang akan menguji kekuatan dan persatuan pemberontak lebih dari sebelumnya.
Keesokan paginya, Neon City masih diselimuti kabut tebal yang menyulitkan penglihatan. Jalan-jalan yang dulu ramai kini sepi, hanya terdengar suara langkah kaki dan bisikan angin yang menusuk. Vex bersama Zaira dan beberapa anggota inti pemberontak berkumpul di ruang bawah tanah markas mereka yang tersembunyi di bawah reruntuhan gedung tua.
"Kabut ini bukan alami," kata Zaira sambil menyalakan peta holografik yang menunjukkan berbagai titik di kota. "Ini racun udara yang diracik khusus, kemungkinan besar dari 'Black Helix'. Mereka berusaha menguasai kota secara perlahan dengan cara ini."
Vex mengamati peta dengan serius. "Kita harus cari sumbernya. Kalau kita biarkan terus seperti ini, anggota kita akan terus melemah, dan warga yang tidak berdosa akan menjadi korban."
Luna, seorang ahli kimia dan anggota pemberontak yang bergabung beberapa bulan lalu, maju ke depan. "Aku sudah membuat peralatan untuk mendeteksi racun itu, tapi aku butuh waktu dan bahan untuk membuat penawar atau setidaknya alat penyaring yang bisa kita distribusikan."
Vex mengangguk. "Ambil yang kau butuhkan. Prioritas utama sekarang adalah menemukan lokasi pembuatan racun ini."
Mereka bergegas menyiapkan tim kecil untuk menyusup ke area yang dicurigai. Vex memilih Luna, Zaira, dan dua anggota lainnya, Rian dan Selina. Keempatnya bergerak cepat, menembus kabut yang semakin pekat, hati-hati agar tidak terjebak dalam patroli pasukan musuh.
"Jangan buat suara berlebihan," bisik Vex. "Ingat, mereka punya alat pemantau yang cukup canggih."
Jejak kaki mereka tertutup kabut, namun Vex memimpin dengan sigap, mengandalkan insting dan informasi intelijen yang sudah mereka dapatkan sebelumnya. Setiap sudut kota terasa seperti perangkap, dan mereka harus terus waspada.
Setelah hampir satu jam menyusuri lorong-lorong gelap dan jalan-jalan sempit, mereka menemukan sebuah bangunan tua yang tampak seperti gudang. Bau kimia yang menusuk hidung semakin kuat di sekitar lokasi itu.
"Ini dia," kata Luna, matanya berkilat. "Sumbernya pasti di dalam sini."
Dengan sigap, Zaira menyiapkan alat pembuka pintu yang dipasang dengan sistem keamanan tinggi. Setelah beberapa menit tegang, pintu itu terbuka pelan, mengungkapkan ruangan penuh dengan tabung-tabung kimia, mesin distilasi, dan berbagai bahan berbahaya.
Vex menatap sekeliling dengan penuh ketegangan. "Ini pangkalan mereka. Kita harus bawa bukti dan hancurkan tempat ini."