Neon Drift

Penulis N
Chapter #22

22

Seminggu setelah sistem Spectra hancur total, Ezra mendapati dirinya berdiri di depan cermin tua di ruang bawah tanah perpustakaan kota—satu-satunya benda dari masa lalu yang tak disentuh oleh pembaruan digital. Cermin itu buram dan penuh goresan, tapi cukup untuk memantulkan bayangan wajahnya.

Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri.

Bukan karena luka-luka yang perlahan sembuh, atau mata yang masih menyisakan sorotan trauma. Tapi karena untuk pertama kalinya, Ezra melihat dirinya bukan sebagai bagian dari Aven, bukan sebagai simbol pemberontakan, bukan pula sebagai "Yang Terpilih" oleh siapa pun. Hanya Ezra. Seorang lelaki yang pernah hidup dalam kebohongan, lalu memilih untuk meruntuhkannya.

Di rak belakang, Luna muncul membawa beberapa arsip lama. Bajunya lusuh oleh debu, tapi senyumnya tetap hangat.

"Kita menemukan rekaman dari keluarga-keluarga yang dihapus identitasnya oleh Spectra. Beberapa di antaranya... milik orang tuamu," ucapnya hati-hati.

Ezra mengangkat kepalanya. "Maksudmu... orang tua kandungku?"

Luna mengangguk. "Nama mereka adalah Lior dan Anya. Mereka dulunya bagian dari Arsitek Awal, tapi menghilang secara misterius. Sekarang kita tahu—mereka dihapus dari sistem karena menolak memperluas kontrol Spectra ke wilayah luar."

Ezra berjalan mendekat. Tangannya gemetar saat menyentuh arsip tipis itu. Di dalamnya, ada foto kuno—dua orang berdiri di tepi danau, menatap ke arah kamera dengan wajah penuh harapan.

"Aku mirip ayahku," gumamnya.

Luna tersenyum. "Dan kamu mewarisi keberanian ibumu."

Ezra tertawa pelan, tawa getir yang menggulung seperti ombak kecil. "Mereka berjuang dan kalah. Aku bahkan tidak tahu mereka pernah ada."

"Tapi sekarang kamu tahu. Dan itu cukup untuk mulai membangun ulang apa yang mereka cita-citakan."

Ezra menutup folder itu perlahan. "Aku ingin menyimpan ini. Bukan sebagai simbol. Tapi sebagai pengingat bahwa aku bukan awal, bukan akhir, hanya kelanjutan dari perjuangan."

Luna memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu akhirnya berdamai dengan dirimu sendiri, ya?"

"Belum sepenuhnya. Tapi... aku mulai memahami apa artinya menjadi manusia."

Di pusat kota, sebuah kelompok anak muda membentuk akademi kecil bernama Atma, artinya jiwa. Mereka mengajarkan sejarah yang ditulis ulang, teknologi yang terbuka dan transparan, serta diskusi-diskusi terbuka tanpa pengawasan dari sistem AI mana pun. Mereka adalah generasi baru, dan mereka tak ingin mengulang kesalahan yang sama.

Vex menjadi mentor pertama mereka dalam bidang etika teknologi.

"Sistem bukan musuh. Tapi sistem tanpa akuntabilitas adalah awal kehancuran," ujarnya dalam salah satu sesi.

Zaira mengelola bagian arsip—mengajak para peserta muda untuk menelusuri kembali data lama dan menilai sendiri mana yang layak dipercayai. "Kebenaran tidak bisa diwariskan," katanya. "Ia harus ditemukan ulang oleh setiap generasi."

Suatu malam, mereka mengundang Ezra untuk berbicara.

Ia datang dengan pakaian sederhana, tanpa jubah pelindung, tanpa simbol apa pun. Hanya Ezra.

Salah satu peserta bertanya, "Jika kamu bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki satu hal, apa yang akan kamu ubah?"

Ezra diam lama, lalu menjawab, "Aku tidak akan ubah apa pun. Karena penderitaan itu yang membuat kita berada di titik ini. Dan rasa sakit... adalah bagian dari pertumbuhan."

Ruangan hening. Tapi bukan karena kaget. Melainkan karena paham.

Di batas luar kota, para pemukim baru membangun koloni kecil. Mereka tidak mau hidup sepenuhnya terpisah, tapi juga tidak ingin kembali pada ketergantungan sistem. Mereka menyebut tempat itu Fajar Kedua—sebuah komunitas mandiri berbasis pertanian dan energi surya. Mereka menjalin relasi damai dengan Aethergrey, saling berbagi ilmu, hasil panen, dan yang terpenting—kejujuran.

Ezra dan Luna mengunjungi tempat itu suatu sore.

Seorang anak kecil memperlihatkan kincir angin buatannya. "Listrik dari angin! Kami tidak perlu panel Spectra lagi!"

Luna tersenyum dan mengacak rambut anak itu. "Kamu lebih pintar dari seluruh dewan kota zaman dulu."

Ezra hanya berdiri diam, memandangi langit yang perlahan berubah jingga.

"Kau tahu," katanya pelan, "aku dulu berpikir kegelapan adalah takdir. Tapi sekarang, aku percaya... kegelapan hanya tempat istirahat sementara sebelum kita belajar menyalakan cahaya."

Luna menatapnya. "Dan kamu telah menyalakan banyak cahaya, Ezra."

Ezra menunduk, menyentuh tanah. "Belum cukup. Tapi aku akan terus menyalakan yang bisa kutemukan."

Langit di atas mereka bebas. Tanpa drone. Tanpa filter.

Hanya langit.

Dan itu sudah cukup untuk hari ini.

Lihat selengkapnya