Setelah melewati lorong sempit yang dipenuhi reruntuhan dan debu, mereka tiba di sebuah ruang bawah tanah yang tersembunyi di balik dinding batu besar. Udara di sana terasa pengap, dan bau tanah basah menguar di setiap sudut. Kristal di tas Ezra masih berpendar lembut, memberikan sedikit cahaya yang memecah gelap.
Luna menyalakan lentera kecil yang dibawanya, mengarahkan cahaya ke sekeliling. "Tempat ini terlihat sudah lama tak disentuh. Tapi lihat," ia menunjuk ke dinding, "ada tanda-tanda ukiran kuno di sini."
Arman maju dan mengamati ukiran itu lebih dekat. "Sepertinya ini semacam peta atau petunjuk. Tapi bahasanya aneh... aku belum pernah melihat simbol seperti ini."
Ezra mengambil buku catatan yang selalu dibawanya, membuka halaman-halaman yang berisi catatan tentang berbagai simbol dan tulisan kuno yang pernah ia pelajari. "Ini mungkin semacam bahasa rahasia atau kode," katanya. "Kita harus memecahkannya jika ingin tahu apa yang tersembunyi di sini."
Luna menatap dinding dengan seksama. "Kalau kita bisa memahami maksudnya, mungkin kita bisa menemukan sumber kekuatan yang selama ini tersembunyi di reruntuhan ini."
Mereka bertiga pun mulai bekerja sama, menggabungkan pengetahuan tentang simbol, sejarah, dan mitos yang pernah mereka dengar. Waktu berlalu, dan perlahan pola-pola di ukiran itu mulai terlihat jelas.
"Tanda ini," kata Ezra sambil menunjuk sebuah simbol yang menyerupai lingkaran bercabang, "bisa berarti 'pusat energi' atau 'tempat berkumpulnya kekuatan'. Kalau benar, maka kita harus mencari ruangan utama di bawah reruntuhan ini."
Arman mengangguk. "Tapi kita juga harus hati-hati. Seperti yang dikatakan sosok tadi, kekuatan ini bisa sangat berbahaya jika salah digunakan."
Mereka melanjutkan perjalanan masuk lebih dalam ke lorong bawah tanah. Suara langkah mereka bergema di antara dinding batu yang dingin dan basah. Kadang terdengar suara gemericik air yang menetes, menambah suasana mencekam.
Tiba-tiba, Arman berhenti dan mengangkat tangannya. "Dengar, ada suara!"
Mereka mendengarkan dengan seksama. Suara lembut seperti bisikan datang dari sebuah ruangan di ujung lorong. Mereka mendekat dengan perlahan, jantung berdegup kencang.
Ketika mereka membuka pintu kayu tua itu, pemandangan di dalam membuat mereka terdiam. Ruangan itu dipenuhi dengan cahaya lembut dari kristal-kristal kecil yang bertebaran di atas meja dan rak-rak batu. Di tengah ruangan, sebuah altar batu berdiri megah, dengan sebuah batu kristal besar berpendar terang di atasnya.
Luna mendekat, matanya berbinar. "Ini dia... sumber kekuatan yang selama ini tersembunyi."
Ezra menyentuh batu kristal itu dengan hati-hati. Saat tangannya menyentuh permukaan kristal, cahaya dari kristal itu memancar lebih terang, menerangi seluruh ruangan. Dalam sekejap, bayangan-bayangan yang tadinya gelap tiba-tiba tampak hidup dan bergerak seperti gelombang.
"Kristal ini menyimpan energi yang sangat besar," kata Ezra dengan suara penuh takjub. "Tapi juga bisa sangat berbahaya jika tidak terkendali."
Tiba-tiba, bayangan gelap dari sudut ruangan bergerak lebih cepat. Sosok dengan mantel hitam yang sama seperti malam sebelumnya muncul lagi. "Kalian telah menemukan inti dari semua ini," ucapnya pelan. "Apakah kalian siap menerima tanggung jawabnya?"
Arman menggenggam pisau di tangannya, siap menghadapi apapun. "Kami siap. Tapi kami tidak akan membiarkan kekuatan ini jatuh ke tangan yang salah."
Sosok itu mengangguk, kemudian berkata, "Kalau begitu, kalian harus melalui ujian terakhir. Hanya yang kuat dan tulus yang bisa memegang kekuatan ini tanpa menjadi hamba kegelapan."
Ezra, Luna, dan Arman saling pandang. Mereka tahu ujian ini akan menentukan nasib bukan hanya diri mereka, tapi juga seluruh desa dan mungkin dunia.
Ruangan itu mulai bergetar, dan kristal besar memancarkan cahaya yang semakin intens. Mereka bersiap menghadapi apa pun yang akan datang, karena perjalanan mereka belum usai—bahkan baru saja memasuki babak paling menentukan.
Getaran di ruangan semakin kuat, membuat debu dan pecahan batu beterbangan di udara. Kristal besar di altar memancarkan sinar putih yang menyilaukan, seolah-olah mengisi seluruh ruang bawah tanah itu dengan energi murni. Ezra menutup matanya sejenak, mencoba menyerap ketenangan di tengah kegaduhan tersebut.
"Ujian ini bukan hanya soal kekuatan fisik," suara sosok berkerudung itu terdengar jelas di tengah gaung ruangan. "Kalian harus menghadapi ketakutan terdalam dan menggenggam keyakinan paling murni. Hanya dengan demikian kalian bisa memegang cahaya tanpa terjerat bayangan."
Luna menarik napas dalam-dalam, lalu menatap kedua temannya. "Kita harus percaya satu sama lain. Jangan biarkan ketakutan menguasai kita."
Arman mengangguk, memasang wajah serius. "Aku tidak akan menyerah. Tidak sampai kita tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini."
Sosok berkerudung melangkah mundur, lalu menghilang di antara kabut yang mulai menyelimuti ruangan. Perlahan, bayangan-bayangan gelap muncul dari sudut-sudut ruangan, melayang dan membentuk sosok-sosok yang tampak seperti wujud ketakutan masing-masing.
Ezra segera mengenali wujud itu—bayangan-bayangan masa lalunya yang selalu menghantui pikirannya. Ada bayangan orang tua yang sudah lama tiada, kegagalan yang terus membayangi, dan keraguan yang tak kunjung hilang.
"Ini ujian pikiran dan hati," bisik Ezra pada dirinya sendiri. Ia menutup mata dan mencoba mengingat momen-momen bahagia bersama teman-temannya, keberanian yang pernah ia tunjukkan, dan tujuan besar yang mereka perjuangkan.
Luna juga dihadapkan pada bayangannya sendiri. Dia melihat versi dirinya yang tak berdaya dan terjebak dalam kesedihan mendalam setelah kehilangan keluarganya. "Aku tidak boleh membiarkan rasa sedih itu menghancurkanku," Luna berbisik. "Aku harus kuat, untuk mereka yang masih hidup dan yang aku sayangi."
Sementara Arman, yang selama ini tampak kuat, menghadapi bayangan dari keraguan terbesarnya: apakah perjuangan mereka akan sia-sia? Apakah ia benar-benar mampu menyelamatkan desa dan mengatasi kegelapan yang membayangi?
Bayangan-bayangan itu semakin mendekat, mencoba menggoyahkan tekad mereka. Namun satu per satu, mereka menatap ke dalam mata bayangannya, meneguhkan hati, dan mengucapkan kata-kata penguatan.
"Cahaya ada dalam diriku," kata Ezra lantang, membuka mata. "Dan aku tidak akan membiarkan bayangan itu menguasai."
Luna mengangkat tangan, membiarkan lentera kecilnya menyala lebih terang. "Kita adalah cahaya bagi satu sama lain."
Arman merapatkan genggaman pada pisau kecilnya. "Tidak ada yang bisa menggantikan keberanian dan harapan."
Ketiga sahabat itu berdiri berdampingan, memancarkan aura keberanian dan kepercayaan. Cahaya dari kristal altar berpendar semakin kuat, menghalau bayangan-bayangan gelap yang mulai memudar satu per satu.
Tiba-tiba, ruangan berhenti bergetar dan suasana menjadi tenang. Sosok berkerudung itu kembali muncul, kali ini dengan wajah yang lebih jelas terlihat—wajah seorang pria tua dengan mata penuh kebijaksanaan.
"Kalian telah melewati ujian pertama dengan baik," katanya lembut. "Namun perjalanan masih panjang. Kekuatan ini bukanlah hadiah, melainkan tanggung jawab yang harus kalian jaga dengan segenap jiwa."
Ezra, Luna, dan Arman saling berpandangan, merasa lega sekaligus sadar bahwa tantangan sesungguhnya baru akan dimulai.
"Siapkah kalian melangkah ke tahap berikutnya?" tanya pria itu.
"Siap," jawab mereka serempak.
Pria tua itu mengangguk dan mengangkat tangan kanannya. Cahaya putih kembali menyelimuti ruangan, dan mereka merasa tubuhnya terangkat pelan-pelan ke atas. Ketika cahaya meredup, mereka sudah berada di tempat baru—sebuah ruang terbuka yang dipenuhi dengan tanaman bercahaya dan langit berwarna ungu keemasan.
Di hadapan mereka, sebuah gerbang besar terbuat dari cahaya berdiri kokoh. "Gerbang ini adalah pintu menuju dunia yang lebih dalam, di mana kegelapan dan cahaya bertarung tanpa henti. Kalian harus menempuh jalan itu dan menjaga keseimbangan agar dunia tidak hancur."
Luna mengangkat kepala, menatap gerbang dengan tekad. "Kita akan melakukan apa pun yang diperlukan."
Arman mengangguk. "Kita tidak akan menyerah sampai semuanya selesai."
Ezra menoleh ke kedua sahabatnya. "Bersama, kita bisa melangkah lebih jauh dari yang pernah kita bayangkan."