"Bahagia itu bisa datang dari hal-hal sederhana."
====
"GILA, FILM-NYA SEREM BANGET. NYESEL GUE NONTONNYA."
Teriakan lantang yang berasal dari sebelahnya membuat Eira mengusap telinga. Nindy-kakak sepupunya memanglah tidak tahu tata krama. Berteriak sesuka hati tanpa melihat keadaan sekitarnya. Lihatlah, mereka menjadi pusat perhatian di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Pekanbaru ini.
"Gak usah teriak juga oncom. Lo gak malu apa?" Eira menendang kaki Nindy menggunakan kaki kirinya. Tersenyum kesetiap orang yang masih menatap ke arah mereka dengan perasaan canggung.
Nindy langsung melotot ke arah Eira seraya mengusap kakinya yang baru saja menjadi sasaran tendangan Eira. "Nggak usah nendang juga ogeb," Nindy memonyongkan bibirnya layaknya bebek. "Sakit tau."
Eira hanya memutar bola matanya malas sambil menarikĀ paksa tangan Nindy berusaha untuk membawa pergi sepupunya itu.
Nindy Oktavia, sepupu Eira yang hanya berjarak satu bulan darinya. Bisa dibilang, mereka itu sebaya. Nindy merupakan anak sulung dari adik ibunya.
"Sakit oncom." Nindy berusaha melepas tangannya dari genggaman Eira. Usahanya sia-sia, karena tenaga Nindy tidak bisa mengalahkan tenaga Eira yang kuatnya seperti baja. Ditambah lagi dengan tinggi Nindy yang hanya sebatas leher Eira. Semua menjadi serba susah.
Sesampainya di pelataran parkir, barulah Eira melepaskan tangan Nindy yang terlihat sedikit memerah. Eira melipat kedua tangan di atas dada sambil tersenyum misterius. Otak cantiknya telah merencanakan sesuatu yang mungkin saja akan merugikan Nindy.
"Bhahah. geli woyy. Ampun deh, nggak gitu lagi gue." Bukannya berhenti, Eira malah menambah kecepatan jarinya di pinggang Nindy. Ia tidak menghiraukan permohonan Nindy. Bahkan di saat dia melihat wajah Nindy yang sudah memerah.
"Ntar gue ajak liatin sunset deh." Nindy mencoba memberi penawaran disela-sela tawanya.
Untuk seorang penggila senja, tentu saja itu merupakan tawaran yang menarik terdengar di telinga Eira. Cewek itu langsung saja menjauhkan tangannya dari pinggang Nindy. Ia menatap gadis malang itu dengan tatapan berbinar layaknya anak kecil yang baru saja diberikan permen lolipop. Pengen nabok, takutnya ditabok balik. Nindy masih sayang nyawa. Masih banyak impian yang masih ingin ia gapai. Menikah dengan cowok tampan salah satunya.
Cewek mungil itu berusaha mengatur napasnya. "Dasar tiang listrik," umpat Nindy. "Gue sumpahin tambah tinggi lo baru tau rasa."
"Heh, nggak usah banyak bacot deh. Dasar, upil ayam." Balas Eira.
Nindy mendengus, seraya merapikan dress berwarna putih tulang miliknya. Mengabaikan Eira yang saat ini menatap dirinya dengan wajah tanpa dosa.
Mereka saling kali bertengkar, mendebatkan sesuatu yang tidak seharusnya menjadi topik perdebatan. Merebutkan hal yang tidak penting. Namun sejatinya, mereka saling menyayangi. Saling menjaga dan melindungi layaknya saudara kandung. Walaupun dulu mereka jarang bertemu karena tinggal di kota yang berbeda, namun satu hari yang lalu Eira memutuskan untuk tinggal di Pekanbaru. Dan kemungkinan mereka akan menempuh pendidikan di tempat yang sama.
"Cepetan woyy. Lama amat. Amat aja nggak lelet kaya lo," ucap Eira membuyarkan fokus Nindy dari dress miliknya. Entah sejak kapan Eira telah duduk di atas motor N-max dengan helm yang bertengger manis di kepalanya. Cewek berbaju biru dengan celana jins berwarna hitam itu berbicara dengan kesal.
Nindy berdecak, cewek itu berjalan sambil menghentakkan kakinya menuju Eira dengan mulut komat kamit.