"Cinta itu butuh perjuangan. Bukan untuk di pendam, atau hanya diperhatikan secara diam-diam."
====
Bel istirahat kedua telah dibunyikan sejak dua menit yang lalu. Namun Eira masih sibuk menyalin catatan yang ada di papan tulis. Hingga membuat Nindy menjadi jenuh menunggunya.
"Nyatatnya ntar aja Ra. Gue laper tau." Nindy berbicara dengan tangan bertopang di dagu. Ia merasa bosan menunggu Eira. Apalagi dengan perutnya yang keroncongan minta diisi. Walaupun sudah makan di jam istirahat pertama, itu tidaklah cukup baginya.
"Dikit lagi." Eira menjawab tanpa menoleh ke arah Nindy. Matanya hanya terfokus pada papan tulis dan buku miliknya.
"Eira!!" Teriak Nindy kesal. Ia benar-benar merasa jengkel pada Eira.
"Selesai," ucap Eira lengkap dengan senyuman manis di wajahnya. Apalagi dengan gigi gisul yang ada pada Eira. Menambah kesan manis pada diri cewek itu.
Eira merapikan semua alat tulis lalu menyimpan itu semua ke dalam ransel berwarna biru miliknya.
"Dari tadi kek," decak Nindy. Dia berdiri kemudian langsung menarik tangan Eira yang baru saja selesai memasukkan peralatan belajarnya ke dalam tas.
"Nggak usah narik juga," dengus Eira seraya melepaskan genggaman tangannya dari Nindy.
Nindy berdecak, "makanya lo jangan lama."
Eira memutar kedua bola matanya malas. "Terserah lo aja Markonah."
"Ayo, nanti keburu bel lagi," ajak Nindy kembali menarik tangan Eira.
Kali ini Eira hanya pasrah. Mengikuti sepupunya itu, tanpa berkomentar lagi.
Setibanya mereka di kantin, Nindy dan Eira mengedarkan seluruh pandangannya kesetiap penjuru kantin. Memilih tempat duduk, yang dirasa cocok untuk mereka tempati.
"Eira sini!!" Teriak Verdy sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Eira. Dia duduk bersama Neon, Ravel, Nahfiz, dan satu orang cewek yang tidak dikenali oleh Eira. Mereka duduk dipojok kantin. Eira, sudah lumayan akrab dengan mereka.
Eira memandang Verdy. Kemudian ikut melambaikan tangannya ke arah cowok itu. Lalu matanya berpindah kearah Neon. Cowok itu tersenyum menatapnya. Membuat pipi Eira tiba-tiba saja memerah. Senyuman yang tercetak di wajah Neon membuat dada Eira berdebar.
"Kita kesana yok Nin," ajak Eira. Kini, giliran Eira yang menarik tangan Nindy.
"Kita cari tempat duduk lain aja," tolak Nindy. Ia tiba-tiba saja menundukkan wajahnya saat matanya menangkap Ravel yang sedang menatapnya dengan intens.
"Yaudah kalau lo nggak mau. Gue nggak maksa lho. Tapi gue duduknya tetap bareng mereka," balas Eira. Ia meninggalkan Nindy yang langsung melongo akibat ucapannya. Benar-benar kejam. Batin Nindy.
Mau tidak mau, akhirnya Nindy mengikuti langkah kaki Eira. Dalam hati ia benar-benar mengutuk Eira.
Eira langsung saja mendudukkan tubuhnya disamping Ravel. Berhadapan dengan Neon yang duduk di samping Verdy. "Nggak papa nih kita berdua gabung?" Tanya Eira memastikan. Siapa tahu, keberadaan dirinya dan Nindy hanya jadi pengganggu bagi mereka.
"Iya. Santai aja. Rame-rame 'kan lebih asyik." Jawab Verdy.