"Masa lalu itu pembelajaran, bukan dijadikan patokan. Kamu harus maju, untuk bisa hidup dimasa depan."
====
Setiap orang pasti pernah menangis. Entah itu menangis karena merasa sedih atau merasa terlalu bahagia. Tergantung setiap orang, mau mengekpresikan dirinya seperti apa.
Bagi Eira, menangis mungkin sudah menjadi hobinya akhir-akhir ini. Setiap malam, jika dia merasakan kesepian. Mungkin, semenjak 5 bulan yang lalu. Dimulai dari tragedi kecelakaan pesawat dari Jakarta menuju Korea yang menewaskan kedua orangtua berserta Abangnya. Waktu itu, Mama dan Papanya akan mengantarkan sang abang yang mendapatkan beasiswa kuliah ke Korea. Kerena itu merupakan kali pertama abangnya pergi Korea, Makanya Mama dan Papanya berinisiatif untuk mengantarkan sampai ke tujuan. Namun, kejadian na'as itu terjadi. Eira yang saat itu sedang melaksanakan ujian kenaikan kelas benar-benar merasa terpukul. Dia sendiri, orang-orang yang ia sayangi pergi meninggalkan dirinya.
Berbulan-bulan lamanya dia menjadi pribadi yang murung. Bahkan iya selalu menolak ajakan tantenya, ibu dari Nindy untuk tinggal bersamanya. Namun, sifat Eira tiba-tiba kembali ceria. Ia selalu tersenyum kepada orang-orang disekitarnya. Tapi itu semua, hanyalah topeng belaka untuk menutupi kesedihannya. Agar orang-orang yang berada disekitarnya, orang-orang yang masih menyayanginya, tidak khawatir. Eira tidak mau, orang-orang mengasihani dirinya. Dia, tidak mau terlihat lemah. Dia, harus berusaha untuk kuat. Dia, harus hidup untuk bisa membanggakan kedua orang tuanya di sana. Dia, harus bisa bertahan dari kejamnya dunia diluar sana. Dia, harus bahagia bersama kenangan yang ia miliki.
"Kamu mau cerita?" Tanya Bunda Neon pada Eira. Ia terus saja mengusap pelan punggung Eira yang masih sesegukan. Berusaha menenangkan Eira. Setelah puas menangis di dapur tadi, mereka memutuskan untuk beristirahat diruang tamu. Dengan Neon yang terus saja menatap Eira dengan cemas. Namun Neon berusaha menahan dirinya untuk tidak mendekati Eira atas perintah dari Bundanya. Neon, berusaha untuk mengerti.
Eira memandang Bundanya Neon. Ia menyeka air mata yang masih tersisa diwajahnya. Entah mengapa, ia merasa begitu nyaman dengan Bunda Neon. Eira tidak tahu kenapa, ia bisa lepas kendali seperti ini. Walaupun ini merupakan pertemuan pertama mereka, Eira, merasa begitu mempercayai Bunda Neon. Ia benar-benar merasa nyaman. Bahkan dengan tantenya sendiri, ia tidak begitu. "Tapi Tante, jangan kasihani Eira ya." Pinta Eira sedikit memohon.
Bunda Neon mengelus sayang kepala Eira. "Panggil Bunda aja, ya, sayang. Anggap saja Bunda ini layaknya ibu kandung kamu. Sama seperti Neon." Bunda Neon menatap ke arahku anaknya.
"Apa boleh?" Tanya Eira memastikan.
Bundanya Neon menganggukkan kepalanya. "Tentu saja sayang. Iya, kan, Neon?"
Neon mengedipkan matanya lucu. Ia memandang Bundanya, lalu mengangguk. "Iya Bunda. Tentu saja. Nanti juga 'kan Eira akan menjadi menantu kesayangan Bunda." Ucap Neon dengan senyum lima jari.
"Neon! Bunda serius."
"Neon juga serius Bunda. Emang Bunda nggak mau punya menantu secantik Eira?" Neon menarik turunkan alisnya menggoda.
"Tentu saja," jawab Bunda Neon dengan cepat.
Sedangkan Eira merasakan jantungnya berdetak begitu cepat. Ia meraba dadanya. Apakah ini pertanda seseorang sedang jatuh cinta? Pada Neon? Secepat itu? Mungkinkah?