Senja. Kata orang, dia tidak pernah ingkar janji. Walau kedatangannya hanya sesaat, namun keindahannya mampu menghipnotis setiap mata yang melihatnya. Senja, indah dan juga mempesona.
Alasan Eira menyukai senja juga begitu. Karena senja selalu datang tepat waktu. Senja yang datang memberikan kedamaian dalam hatinya. Dengan senja, dia bercerita banyak hal. Dengan senja Eira yakin bahwasanya senja tidak akan pernah menertawakan dirinya walaupun seberapa buruk dirinya.
"Enggak mau pulang?" Tanya Neon pada Eira. Pasalnya sejak sepuluh menit yang lalu mereka masih berada ditepi jalan yang tak jauh dari perumahan Eira. Kebetulan tempatnya sangat cocok untuk melihat senja. Terlihat begitu jelas dan indah.
"Bentar lagi." Eira masih sibuk mengabadikan senja diponsel pintarnya.
"Nanti pulangnya jadi malam," kata Neon. Cowok itu duduk di atas motor miliknya sambil melipat kedua tangan di atas dada.
Air muka Eira tampak kesal. Namun ia tetap menyimpan ponselnya ke dalam tas. Bibir Eira mengerucut lucu. Membuat siapa saja akan merasa gemas saat melihatnya. Tidak, mungkinkah hanya Neon saja?
Eira berjalan ke arah Neon kemudian duduk diboncengan cowok itu. Tidak lupa memasang helm di atas kepalanya. Neon juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Eira. Cowok itu kemudian menghidupkan mesin motornya. "Siap?" Neon bertanya.
"Siap," jawab Eira.
Motor Neon pun melaju menuju rumah Eira, lebih tepatnya rumah Nindy. Cowok itu mengemudikan motornya dengan santai.
Saat tiba di rumah Eira, Neon segera memberhentikan motornya di depan gerbang rumah bercat warna biru tempat Eira tinggal. Eira segera turun, lalu memandang Neon yang masih stay di atas motornya. "Lo nggak mau masuk dulu?" Eira bertanya. Ia tidak mau kejadian waktu itu terulang lagi.
"Nggak, udah magrib," tolak Neon.
"Nggak mau shalat di sini gitu?" tanya Eira lagi.
"Nggak, soalnya saya belum bisa jadi imam lo," jawab Neon.
"Ha?" Bingung Eira.
"Belum sah soalnya." Neon tersenyum lebar. "Assalamualaikum, Eira."
Eira hanya terbengong mendengar penuturan Neon hingga cowok itu tidak terlihat lagi dari pandangannya.
"Waalaikumsalam Neon," balas Eira.
Setelah kepergian Neon, Eira langsung memegang pipinya yang terasa panas. Menepuknya pelan secara bergantian. Setelah cukup lama Eira melakukan tindakan konyol itu, ia berdehem. Kembali menormalkan ekspresinya kemudian berjalan masuk ke dalam rumah.
Setelah Eira membuka pintu, ia dikagetkan dengan kehadiran Nindy yang berdiri dengan tangan dilipat di atas dada. Ekspresinya seperti emak-emak yang siap memarahi anaknya.
Eira memandangnya dengan sebelah alis terangkat. Tidak merasa terintimidasi sedikitpun.
"Ra gue seneng banget!" Teriak Nindy tiba-tiba sambil menubruk badan Eira, memeluknya.
"Kenapa lo?" Tanya Eira setelah pelukan mereka terlepas. "Eh, ntar aja ceritanya." Kata Eira lagi.
Mendengarnya membuat Nindy menggerutu. "Yaudah," kata Nindy tak rela.
"Tante sama om mana?" Tanya Eira seraya berjalan menuju kamarnya yang terletak dilantai dua bersebelahan dengan kamar Nindy.
"Dikamar kayaknya," jawab Nindy tak yakin dibalas anggukan kepala oleh Eira.
Sesampainya dikamar, Eira segera pergi kekamar mandi untuk mengambil wudhu. Eira melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk shalat lima waktu.
Pada sujud terakhir, Eira menangis. Ia meminta pada Allah, semoga ia bisa dipertemukan dengan kedua orangtuanya di akhirat kelak. Nyatanya rindu yang tak berujung temu itu pilu.
Setelah shalat, Eira memutuskan untuk mandi. Walaupun ini sudah malam dan tidak baik untuk kesehatan, Eira tetap harus melakukannya. Karena badannya terasa sedikit lengket dan itu pasti akan membuat dirinya tidak akan bisa tidur semalaman.
"Ra, makan. Disuruh sama papa." Nindy tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarnya. Kebetulan, Eira telah selesai mandi dan mengenakan pakaian.
"Ayo," ucap Eira pada Nindy. Mereka berdua berjalan beriringan menuju meja makan.
Di sana, sudah ada om berserta tantenya yang menunggu kehadiran mereka.
"Kamu abis dari mana Ra? Tumben pulangnya telat," tanya om Herdi saat Eira duduk dimeja makan.