“Cara melawan ketakutan adalah dengan menghadapinya. Jika ketakutan itu enggak dihadapi, dia akan terus berputar di sekililing kita membuat kita terus terjebak di dalamnya.”
* * * * *
Rhea bisa bernafas lega karena Devan tidak tertangkap basah menyembunyikan gelang pintar milik Arya di sepatunya. Saat ini gadis itu duduk di dalam bus sendirian. Di depannya, Devan masih menenangkan Isha yang takut. Sedangkan di belakangnya Arya juga melakukan hal yang sama pada pacarnya. Sedangkan Rhea hanya bisa melihat keluar jendela dimana bus yang mereka naiki hendak berangkat.
Tiba-tiba Rhea merasakan ada seseorang duduk di sampingnya. Dia menoleh dan seketika nafasnya tercekat melihat laki-laki yang duduk di sampingnya.
“Kak Dirga?” panggil Rhea tidak percaya.
“Apa kursi ini ada yang menempati?” tanya Dirga dengan suara dinginnya.
Rhea menggelengkan kepalanya. “Enggak. Aku duduk sendiri sejak naik tadi.”
“Baguslah. Karena enggak ada tempat lagi.”
Dalam hatinya, Rhea ingin sekali berteriak kegirangan karena bisa duduk di samping pujaan hatinya. Rhea tidak melihat Dirga karena kerumunan orang-orang yang terlalu banyal. Dia tidak menyangka akan duduk bersama dengannya. Meskipun Rhea takut apa yang terjadi saat mereka sampai di kamp pengamanan, tapi dia tetap merasa senang bisa menikmati momen bersama Dirga meskipun hanya sebentar.
“Apa Kak Dirga sempat menghubungi keluargamu?” Rhea berusaha membuka pembicaraan.
“Enggak. Aku enggak punya siapapun untuk dihubungi.”
Rhea terkejut mendengar jawaban Dirga. Dia berpikir Dirga tidak akan menjawabnya. Karena dia melihat dia tidak pernah akrab dengan orang lain. “Apakah Kak Dirga hidup sendirian?”
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. “Memiliki orang tua yang sibuk bekerja, sama saja hidup sendirian.”
Rhea terdiam dan memikirkan jika kehidupan Dirga dengannya sama. Mereka memiliki orang tua, tapi orang tua mereka tidak pernah ada untuk mereka. Terlalu sibuk bekerja hingga lupa mereka memiliki anak yang perlu diperhatikan.
“Bagaimana denganmu?”
Rhea menoleh terkejut mendengar pertanyaan Dirga. “Denganku? Sama seperti Kak Dirga. Aku juga punya orang tua yang terlalu sibuk bekerja. Sepertinya mereka lupa kalau aku ada di dunia ini.”
“Jadi kamu juga enggak hubungi mereka?”
Rhea menggelengkan kepalanya. “Enggak. Bahkan kalau aku hilang pun mereka juga enggak akan meninggalkan pekerjaan mereka.”
Dirga tersenyum menatap Rhea. Seketika tubuh Rhea membeku di tempat. Ini pertama kalinya dia melihat Dirga tersenyum. Biasanya Dirga seperti robot dingin yang tidak pernah menunjukkan ekspresinya. Tapi hari ini, dia tersenyum padanya.