Angin bisa berhembus dengan tenang, Namun ketika emosi menguasai, angin bisa berubah mengerikan.
* * * * *
Devan menatap Rhea yang berbaring di atas ranjang. Gadis itu masih belum kunjung sadar. Perawat sudah mengganti pakaian Rhea yang basah dengan pakaian seperti piyama rumah sakit. Perawat juga memasangkan selang oksigen untuk menghangatkan saluran pernafasan Rhea serta cairan infus yang disuntikkan di punggung tangan gadis itu.
Meskipun perawat mengatakan Rhea akan baik-baik saja, tapi Devan masih saja mencemaskan gadis itu. Laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Rhea. Menggenggamnya berharap kehangatan tangannya mampu menyingkirkan rasa dingin dalam tubuh gadis itu.
“Aku mau di bawa ke mana? Kalian mau apa?”
Seruan itu membuat Devan menoleh. Dia bisa melihat seorang laki-laki yang ditarik paksa oleh dua petugas kesehatan di luar ruang kesehatan. Devan merasa bingung mengapa laki-laki ditarik paksa. Padahal dia tidak terlihat sakit sama sekali.
“Lepaskan aku!” Seru laki-laki dengan rambut cepak itu.
Sayangnya dua orang petugas kesehatan itu sama sekali tidak menanggapi ucapannya. Mereka terus menarik laki-laki itu menuju sebuah ruangan yang letaknya berada di dekat ruang kesehatan. Penasaran dengan apa yang terjadi, Devan menghampiri pintu ruang kesehatan untuk mengintip apa yang terjadi.
“KUBILANG LEPASKAN AKU!” Seru laki-laki itu diiringi angin kencang yang berputar di seluruh tubuhnya. Angin itu menghempaskan kedua orang petugas kesehatan itu hingga terpental menabrak dinding.
Devan yang bersembunyi di balik pintu menggunakan tangannya untuk melindungi wajahnya dari hempasan angin yang sampai ke arahnya. Dia bisa merasakan angin itu menyentuh kulitnya. Seketika Devan merasa terkejut melihat apa yang baru saja dilakukan laki-laki itu.
“Dari mana angin itu berada? Apa angin itu muncul dari tubuhnya?” gumam Devan.
Tatapan Devan kembali beralih kepada laki-laki tadi. Dia bisa melihat laki-laki itu terengah-engah seakan baru saja menggunakan tenaga yang besar. Tiba-tiba terdengar suara tembakan membuat nafas Devan tercekat. Dia bisa melihat peluru bius dart syringe menancap di dada kiri laki-laki itu sehingga membuatnya langsung tumbang tidak sadarkan diri.
Mendengar suara langkah kaki mendekat, Devan segera melangkah mundur dengan pelan. Berusaha keras tidak mengeluarkan suara. Dia menggunakan tirai yang membatasi ranjang satu dengan yang lain untuk bersembunyi. Dia mengintip dari celah kecil tirai itu. Terlihat Kapten Bima berjalan menghampiri laki-laki yang pingsan itu. Bima mencabut peluru bius itu.
“Bawa dia ke laboratorium.” Perintah Bima.
Terlihat dua tentara lainnya mengangkat tubuh laki-laki yang tidak sadarkan diri itu pergi menuju ruang laboratorium. Bima berbalik untuk berbicara dengan dua petugas kesehatan yang sebelumnya terhempas angin besar.
“Lain kali langsung pake obat bius untuk membawa anak-anak itu. Kalau tidak kalian bisa menarik banyak perhatian.” Ucap Bima.
“Baik, Kapten Bima. Maafkan kami.”
Tatapan Bima tertuju pada tirai tempat Devan bersembunyi. Seketika jantung Devan berdebar kencang. Jika dia ketahuan mengintip kejadian barusan, entah apa yang akan dilakukan Kapten Bima padanya. Dari celah kecil itu Devan bisa melihat Bima berjalan menghampiri tirai itu. Pria itu begitu sensitif hingga bisa merasakan Devan yang sedang mengamatinya.