Neophyte : The Destroyer Weapon

Quinceline
Chapter #12

11.Mimpi Yang Menakutkan

Terkadang mimpi bisa menjadi pertanda yang baik ataupun buruk.

Namun terkadang mimpi hanyalah sebuah imajinasi berlebihan dari pikiran kita.


* * * * *


Devan berjalan masuk ke dalam ruang kesehatan. Tatapannya tertuju pada Rhea. Dia bisa melihat kepala Rhea bergerak gelisah meskipun matanya masih terpejam. Devan yakin saat ini Rhea sedang bermimpi buruk. Saat hendak berlari ke arah gadis itu, langkahnya terhenti. Devan bisa melihat seluruh lampu di ruang kesehatan itu berkedip-kedip tidak stabil.


“Kenapa sama lampunya? Padahal ini bukan film horror kenapa lampunya berkedip-kedip sendiri?” heran Devan.


Tatapannya kembali ke arah Rhea. Gadis itu masih bergerak gelisah dalam tidurnya. Jika mengingat pembahasan mengenai teori Arya, maka Devan menebak jika aliran listrik yang berubah tidak stabil itu ada hubungannya dengan Rhea. 


“Aku harus bangunin Rhea sebelum ada yang lihat keanehan ini.” Devan berlari menghampiri gadis itu.


“KAK DEVAN!” Rhea tiba-tiba bangun dari tidurnya sebelum Devan sempat membangunkan gadis itu.. Rhea duduk di atas ranjangnya dengan nafas terengah-engah. Bahkan keringat membasahi tubuhnya. Tepat ketika Rhea bangun, aliran listrik berubah normal.


“Rhea?” panggil Devan kebingungan melihat reaksi gadis itu. Terutama karena gadis itu memanggil namanya.


Rhea mendongak dan melihat Devan sudah berdiri di samping ranjang. Seketika matanya berbinar melihat sosok Devan. Kelegaan membanjiri gadis itu.


“Kak Devan? Ini beneran kamu?” tanya Rhea tidak percaya. Dia masih terbayang-bayang dengan mimpinya. Seakan mimpinya terasa begitu nyata. Bahkan gadis itu sampai menitikkan air mata karena ketakutan kehilangan Devan.


“Ya iyalah ini aku Devan. Masak ya hantu.”


Rhea mengulurkan kedua tangannya dan memeluk leher laki-laki itu. Membuat Devan terkejut dengan tindakan gadis itu. Ada perasaan bahagia menyusup dalam hatinya karena Rhea berinisiatif memeluknya. Namun perasaan Devan teralihkan saat merasakan tubuh Rhea bergetar karena menangis.


“Syukurlah Kak Devan baik-baik saja. Aku sangat takut kehilangan Kak Devan.” Rhea tidak bisa menahan air mata yang terus menerus keluar dari sudut matanya. 


Devan melepaskan pelukan Rhea. Laki-laki memegang bahu gadis itu. “Apa maksudmu kamu takut kehilangan aku, Rhe?”


“Tadi aku mimpi, Kak. Dalam mimpi itu aku berada dalam lorong yang sangat dingin. Lalu aku lihat Kak Devan enggak jauh dari aku. Aku mau deketin Kak Devan, tapi Kakak melarangku. Ternyata lantai tempat Kakak berdiri sudah retak. Kemudian aku lihat Kak Devan jatuh ke dalam air dan menghilang. Karena itu aku sangat takut kalau aku beneran kehilangan Kak Devan.”


Devan menggelengkan kepalanya. “Enggak akan, Rhe. Kamu enggak akan kehilangan aku. Aku pasti akan selalu bersamamu untuk melindungimu.” 


“Kakak janji?” Rhea mengulurkan jari kelingkingnya. “Isha selalu melakukan ini saat dia minta aku berjanji.”


Devan tersenyum. Kemudian laki-laki itu melingkarkan jari kelingkingnya di jari kelingking Rhea. “Aku janji.”


Lihat selengkapnya