Ketika seseorang dikuasai keserakahan, dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Bahkan jika cara itu harus bertentangan dengan hati nurani.
* * * * *
Sejak mendapatkan mimpi kehilangan Devan, Rhea tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari Devan. Bahkan saat mendengar suara atau mencium aroma Devan, Rhea selalu menyadari kehadiran laki-laki itu. Sehingga gadis itu menjadi lebih sensitif jika menyangkut Devan.
Gadis yang saat ini tengah berjalan menuju lapangan, menyentuh dadanya yang berdegup kencang hanya karena mengamati Devan yang sedang bersenda gurau bersama Arya. Rhea berusaha menenangkan dirinya. Sayangnya apapun yang menyangkut Devan membuat perasaan Rhea berkecamuk.
Apa aku mulai suka Kak Devan, ya? Tanya Rhea dalam hati.
Seseorang menyentuh bahu Rhea membuat gadis itu terlonjak kaget. Dia menoleh dan mendapati Dirga berjalan di sampingnya.
"Kak Dirga?" panggil Rhea.
Aneh. Aku suka Kak Dirga. Tapi kenapa perasaan yang aku rasakan ke Kak Dirga berbeda sama perasaanku sama Kak Devan? Heran Rhea dalam hati.
“Kamu sudah enggak apa-apa, Rhe?” tanya Dirga.
Rhea menggelengkan kepalanya. “Aku sudah enggak apa-apa kok, Kak.”
“Kamu yakin? Harusnya kamu tetap di ruang kesehatan.” Dirga tampak sangat cemas.
“Kita satu tim, Kak. Kalau aku tetap di ruang kesehatan, tim kita jadi enggak lengkap. Lagian badanku sudah pulih kok.”
“Ya sudah kalau kamu ngomong begitu.”
“Kak boleh enggak aku tanya sesuatu?” Rhea menatap Dirga yang lebih tinggi darinya.
“Tanya apa?”
“Bagaimana kakak bisa bahasa Jawa? Kupikir Kakak orang Kalimantan.” Rhea ingat bagaimana fasihnya Dirga saat menerjemahkan petunjuk ketika mereka masih berada di ruang pendingin.
“Oh, itu. Kakek sama nenekku yang ngajarin.”
“Kakek dan nenek Kak Dirga dari Jawa?”
Dirga menganggukkan kepalanya. “Ya, mereka dari Jawa. Dulu aku tinggal sama mereka. Setelah kakek dan nenek meninggal, aku baru pindah kemari.”
“Aku ikut sedih, Kak.”
“Makasih, Rhe. Tapi kejadian itu sudah lama berlalu. Jadi aku sudah bisa menerima kepergian mereka.”