Aku tahu kamu takut, Isha. Tapi kamu harus berusaha melawan ketakutanmu. Kita berjuang bersama-sama, oke?
~ Devandra Abrisam ~
* * * * *
Kantin menjadi tempat yang dipilih Devan untuk menyembunyikan ketiga gadis dalam timnya. Pasalnya di sana ada bufet yang bisa digunakan untuk bersembunyi. Mereka pun berjongkok untuk bersembunyi di balik bufet.
“Kak Devan, apa Kakak yakin aman di sini?” tanya Isha memegang senjatanya dengan kikuk.
“Aku enggak bisa jamin tempat ini aman atau enggak, Isha. Tapi paling enggak tempat ini paling aman di seluruh kamp. Aku tahu kamu takut, Isha. Tapi kamu harus berusaha melawan ketakutanmu. Kita berjuang bersama-sama, oke?” Devan menepuk bahu adiknya untuk menyemangati sang adik.
Isha menganggukkan kepalanya. “Oke, Kak. Aku bakal berusaha jadi berani.”
Devan tersenyum kemudian mengusap puncak kepala sang adik. Dia tidak tega harus meninggalkan Isha dan Rhea. Tapi dia juga harus menghentikan permainan ini lebih awal untuk menyelamatkan mereka.
“Isha, Rhea dan juga kamu, Zura. Karena ini pertama kalinya kalian akan menggunakan senjata ini, kalian pasti bakal kesulitan. Karena itu aku mau kasih tahu bagaimana menghadapi musuh dengan menyerang titik lemah mereka.”
“Titik lemah? Apa ada yang seperti itu, Kak?” tanya Rhea memicingkan matanya menatap Devan.
Devan menganggukkan kepalanya. “Kita manusia yang enggak sempurna, Rhe. Tentu saja punya titik kelemahan. Karena itu cara bisa jadi alternatif kalian untuk mempertahankan diri.”
“Titik lemah itu ada di mana saja?” tanya Zura memperhatikan penjelasan Devan.
“Yang aku tahu ada 5 titik lemah pada manusia. Satu adalah leher. Leher adalah pangkal tengkorak. Karena itu kalau kalian serang bagian leher dengan sangat keras maka orang itu cedera.” Devan memperagakan cara untuk menyerang leher.
Kemudian dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Yang kedua adalah ujung tulang ekor. Kamu bisa menendang atau menggunakan sikut kalian untuk menyerangnya. Maka musuh kalian bakal merasakan sakit dari bagian punggung bawah sampai kaki.”
“Baru saja dengar sudah ngeri bayangin sakitnya.” Tubuh Zura gemetar membayangkan dirinya diserang seperti itu.
“Aku lanjutin. Kalian pasti pernah melihat film aksi dimana pemeran utama menyerang bagian hidung sampai berdarah. Kalian bisa gunain cara itu untuk menyerang musuh.” Devan menunjuk ke arah hidungnya.
“Kalau gitu, aku mau serang orang yang hidungnya mancung. Biar enggak bikin iri.” Isha terkekeh.
Devan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan sang adik. Sedang membahas masalah serius adiknya justru cengengesan.
“Waktunya enggak banyak lagi. Aku lanjutin bahas yang keempat adalah mata. Karena bagian mata sangat sensitif sehingga mudah buat orang sakit. Tapi sulitnya adalah saat musuh bisa menangkis tangan kita. Dan terakhir adalah dagu. Ketika kita serang dagu musuh dengan sangat keras, sehingga mampu menggetarkan otak. Kebanyakan orang akan pingsan karena serangan ini. Apa ada pertanyaan?” Devan memberikan kesempatan untuk anggota timnya bertanya.
Karena Devan menjelaskan sembari memperagakan serangan, maka tidak ada yang perlu ditanyakan. Sehingga ketiga gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu aku akan langsung pergi bersama dengan Arya tepat setelah sirine berbunyi.” Jelas Devan.
Rhea memegang tangan Devan. “ Kak, apa aku enggak bisa ikut Kakak saja?”