Keserakahan mampu membuat orang menjadi buta.
Tidak peduli pada orang lain.
Lebih mementingkan keinginannya.
* * * * *
Devan dan Arya berlari menjauh dari beberapa orang yang mengejar mereka. Padahal mereka harus mencari tombol sirine. Tapi jika mereka terus dikejar seperti ini, mereka tidak akan bisa mencarinya. Devan menarik Arya melewati sebuah gang. Kemudian mereka berbelok hingga mereka sampai di area belakang kamp. Devan bersembunyi di samping kotak sampah berukuran besar.
“Gila, Dev. Ngajak sembunyi ya hitung-hitung tempatnya. Di sini bau banget.” Omel Arya menutupi hidung dengan tangannya.
Devan melakukan hal yang sama dengan Arya. Mau bagaimana lagi. Mereka berada di antara sampah-sampah sehingga membuat area itu sangat bau.
“Mau bagaimana lagi? Kita harus bersembunyi kalau mau selamat. Diamlah. Mereka datang.” Devan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Meminta Arya untuk diam dan tak bersuara.
Dari balik kotak sampah itu, Devan mengintip. Dia bisa melihat gadis yang mengejar mereka sedang menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaan mereka. Devan dan Arya berusaha menekan tubuh mereka ke dinding agar gadis itu tidak melihat keberadaan mereka.
“Sialan! Di mana dua cowok tadi?” gerutu gadis itu. “Lebih baik aku mencari ayam emas saja.”
Setelah gadis itu berbalik pergi, barulah Devan dan Arya bernafas lega. Setelah mendengar langkah kaki gadis itu menjauh, Devan dan Arya keluar dari tempat persembunyian mereka. Mereka menjauh dari area sampah itu.
“Sialan! Bau badanku jadi sama kayak sampah.” Arya menciumi pakaiannya.
“Mending bau sampah daripada bau darah.” Devan mengintip dari dinding di gang untuk melihat situasi di luar gang.
“Kamu benar. Mending bau sampah daripada mati mengenaskan. Aku heran. Kenapa mereka masih saja kejar kita. Padahal kita enggak ambil telur atau ayam emas itu.” Heran Arya.
“Karena pikirannya sudah dipenuhi oleh emas. Karena itu dia berubah jadi serakah. Enggak peduli orang lain punya emas atau tidak, dia akan tetap mengejar orang itu sampai dia bisa membuktikannya sendiri kalau orang itu enggak punya emas.”
Arya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jadi dia sudah dibutakan oleh emas. Ckck… Enggak sayang nyawa tapi sayang emas.”
“Biarin saja mereka. Kita harus cari tombol sirine itu untuk menghentikan permainan yang gila ini.”
“Aku pikir sulit menemukannya, Arya. Apalagi kalau tombol sirine itu dijaga seorang tentara.”
Devan menoleh dan memicingkan matanya menatap sang sahabat. “Dijaga seorang tentara? Bagaimana kamu bisa tahu kalau tombol itu dijaga tentara?”
“Apa kamu enggak sadar saat Kapten menelpon anak buahnya tadi?” Alih-alih menjawab, Arya justru balik bertanya.
“Sadar kenapa?”
Arya menghela nafas berat. Dia pikir sahabatnya ini enggak sejenius kelihatannya. “Jadi saat Kapten Bima menelpon anak buahnya tadi, enggak butuh waktu lama agar sirine berbunyi. Artinya tentara itu berada di dekat tombol sirine jadi dia bisa langsung menekan tombol itu saat Kapten menyuruhnya.”
Bibir Devan menyunggingkan senyuman. Dia menepuk bahu sahabatnya dengan bangga. “Kamu jenius, Arya. Aku enggak kepikiran sampai situ.”