Neophyte : The Destroyer Weapon

Quinceline
Chapter #17

16.Senjata Mengerikan

Terkadang yang kelihatan lemah justru terlihat kuat.

Sehingga jangan remehkan musuhmu.

Meskipun sekecil apapun.


* * * * *


“ISHA!!!”

Seru Rhea saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Sebuah peluru keluar dari senjata Angga dan mengarah pada Isha. Rhea hendak meraih tangan Isha untuk menyelamatkannya. Begitu juga dengan Dirga yang memeluk gadis itu hendak melindunginya.


Namun tiba-tiba seekor elang terbang kearah Dirga dan Isha. Sehingga peluru yang dilontarkan Angga mengenai tubuh elang itu. Membuat burung itu terjatuh ke lantai dengan darah membasahi lantai. Angga dan kedua temannya lain tampak terkejut melihatnya. Tidak hanya karena kedatangan burung elang itu yang berusaha melindungi Dirga dan Isha, tapi juga peluru dalam senjatanya bukanlah paintball. Melainkan peluru sungguhan. Jika saja elang itu tidak menghalangi, artinya Angga akan membunuh Dirga atau Isha.


Laki-laki yang merupakan satu tim dengan Angga menepuk bahunya. “Angga, lebih baik kita telur dan ayam emas di tempat lain. Kita bisa kehabisan waktu.”


Akhirnya Angga mendengarkan ucapan temannya. Laki-laki yang masih terguncang itu berlalik pergi mengikuti kedua temannya.


Dirga melepaskan pelukannya saat tidak merasakan peluru yang mengenai tubuhnya. Saat dia menoleh ke bawah, dia bisa melihat burung elang yang sudah mati karena tertembak. Isha yang semula membuka matanya karena takut mulai membuka kembali matanya.


“Apakah aku sudah mati, kak Dirga?” tanya Isha menyentuh seluruh tubuhnya untuk mengetahui apakah ada bagian tubuhnya yang terluka.


Dirga menggelengkan kepalanya. “Enggak. Kamu belum mati, Isha. Burung ini yang sudah melindungimu.”


Tatapan Isha tertuju pada burung elang yang tergeletak di lantai dengan darah membasahi bulunya yang berwarna coklat keabu-abuan. Isha segera berlutut di depan burung elang itu. Seketika tangis gadis itu pecah.


“Kakek elang. Maafkan aku. Gara-gara aku, Kakek elang jadi mengorbankan diri kakek. Maafkan aku.” Sedih Isha di tengah tangisnya.


Rhea dan Zura berjalan menghampiri Isha. Dia memeluk bahu gadis itu untuk menenangkannya.


“Apa kamu kenal burung ini, Isha?” tanya Rhea berusaha membaca keadaan yang baru saja terjadi.


Isha menganggukkan kepalanya. “Iya, Rhe. Dia selalu bertengger di jendela sebelum aku tidur. Dia banyak bercerita tentang keluarganya yang sudah lama pergi meninggalkannya. Dia hanya sendirian di hutan ini. Padahal dia bahagia karena punya aku yang menemaninya. Tapi sekarang dia sudah mati. Aku sangat sedih, Rhe.”


Dirga berjongkok di samping burung itu. Dia menyentuh burung Elang itu. Namun burung itu tidak bergerak sama sekali.


“Sejak kapan kamu bisa bicara dengan binatang, Isha?” tanya Dirga.


“Entahlah. Sepertinya sejak kemarin aku bisa memahami bahasa binatang.” Jawab Isha masih sesegukan.


“Jangan menyerang musuh seperti tadi lagi, Isha.” Ucap Dirga.


Isha memicingkan matanya. “Kenapa? Tapi tadi Rhea bilang aku boleh pake cara rahasiaku. Aku cuma minta semut buat mengeroyok mereka.”


“Karena itu adalah kekuatanmu, Isha. Kamu mampu berbicara dengan binatang. Itu adalah kekuatan yang dilarang Devan untuk ditunjukkan.” Jelas Dirga.

Lihat selengkapnya