Neophyte : The Destroyer Weapon

Quinceline
Chapter #22

21.Jangan Meremehkan Lawanmu

“Kamu berpikir karena kami masih muda, maka kami enggak bisa mengatur rencana. Sayangnya kami enggak sebodoh itu, Kapten. Sebaiknya kamu enggak meremehkan lawanmu.”


* * * * *


Dengan mengendap-endap, Devan dan Arya masuk ke dalam laboratorium. Banyak tentara yang melangkah keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan daya listrik yang ada di laboratorium. Setelah merasa orang-orang di dalam laboratorium itu tidak menyadari keberadaannya, mereka bergegas menghampiri tabung di mana Isha disekap.


“Isha.” Panggil Devan dengan suara  pelan. 


Sayangnya karena Isha masih dalam kondisi tidak sadarkan diri berkat efek obat bius, membuat gadis itu tidak merespon panggilan sang kakak. Arya berusaha menggeser pintu tabung itu. Namun sayangnya pintu tabung itu terkunci rapat dan tersambung pada kunci digital. 


“Bagaimana cara kita membuka pintu ini? Pintunya terhubung dengan kunci digital itu. Kita enggak bisa buka tanpa kode.” Arya menunjuk pada kunci digital yang ada di pintu.


“Tenang saja. Aku akan mengurusnya.”


Devan menggunakan kekuatan airnya. Laki-laki itu menggerakkan air masuk ke dalam kunci digital itu. Dia menarik pengait yang mengunci pintu itu. Setelah pengait terbuka, barulah Arya bisa menggeser pintu itu. Devan dan Arya bergegas masuk untuk mengambil Isha. Mereka melingkarkan lengan Isha di bahu mereka dan langsung membawanya keluar. 


Sayangnya ketika mereka sudah keluar dari tabung, langkah mereka terhenti karena listrik kembali menyala. Lalu tatapan mereka tertuju pada Bima berdiri tidak jauh darinya. Pria itu melipat kedua tangannya di depan dada dan tatapannya tertuju lurus pada tiga anak muda yang hendak kabur dari laboratorium.


“Anak bodoh! Kalian pikir setelah mendapatkan gadis itu, kalian bisa keluar dari sini?” Bima mendengus sinis.


“Kamu terlalu meremehkan kami, Kapten. Kamu berpikir karena kami masih muda, maka kami enggak bisa mengatur rencana. Sayangnya kami enggak sebodoh itu, Kapten. Sebaiknya kamu enggak meremehkan lawanmu.” Devan menatap Bima penuh dengan kebencian.


Bima tertawa mendengar ucapan Devan. “Baiklah. Kalau begitu aku enggak akan meremehkan kalian. Semuanya, serang dia. Lumpuhkan dia.”


Tatapan Devan beralih pada Ayra. “Arya, kamu bawa Isha keluar dulu.”


“Tapi bagaimana denganmu?” cemas Arya.


“Aku akan menyusul setelah membereskan mereka. Kamu dan yang pergilah menyusul Dirga. Aku akan segera menyusul kalian.” Devan melepaskan tangan Isha.


“Baiklah. Hati-hati, Devan. Kamu harus segera menyusul kami.”


Devan menganggukkan kepalanya. Akhirnya Arya membawa Isha yang masih belum sadarkan diri keluar dari laboratorium. Devan menoleh ke arah para tentara yang mengelilinginya. 


“Dasar Bocah ingusan! Cari masalah saja.” Gumam salah satu tentara hendak melayangkan tongkatnya. 


Namun Devan menggunakan kekuatan airnya untuk mendorong tubuh tentara itu hingga membentur dinding dengar sangat keras. Bima terkejut melihat kekuatan yang diperlihatkan oleh Devan.


“Kamu punya kekuatan?” tanya Bima tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.


Devan menganggukkan kepalanya. “Benar, Kapten. Bukankah kekuatan seperti ini yang kamu cari? Karena itulah kamu membawa Isha.” 


“Memang benar. Kekuatan seperti inilah yang kami cari. Semuanya, aku ubah perintahku. Bius dia. Aku menginginkannya dalam kondisi yang hidup dan juga utuh.”


Salah satu sudut bibir Devan terangkat. “Enggak semudah itu mendapatkanku, kapten.”


Saat para tentara itu menembakkan peluru panah bius, Devan menggunakan kekuatannya untuk menghentikan peluru itu. Dia memutar balik peluru itu dan melemparkan kembali ke arah para tentara itu sehingga satu persatu tentara-tentara itu jatuh pingsan.


“Kamu…” Geram Bima.

Lihat selengkapnya