Jangan pernah berhenti berharap.
Karena harapan sekecil apapun bisa sangat berarti.
* * * * *
Setelah berhasil melumpuhkan beberapa tentara, akhirnya Dirga berhasil mencapai pos pengamanan. Dia melihat dua orang tentara yang seharusnya menjaga pos pengamanan itu sudah tergeletak di atas lantai dengan luka bakar di bagian perutnya. Dirga menggunakan kekuatan apinya untuk melumpuhkan para tentara itu.
Laki-laki itu berjalan menghampiri panel yang ada dalam ruangan itu. Ada banyak tombol dan juga layar yang menampilkan berbagai area di dalam kamp. Mata laki-laki itu mencari tombol atau apapun yang bisa digunakan untuk membuka pintu utama. Tatapan Dirga tertuju pada sebuah tuas berwarna merah. Dia melihat ada tulisan ‘buka’ di bagian bawah dan tulisan ‘tutup’ di bagian atas.
“Ini pasti tuas yang digunakan untuk membuka pintu utama.” Gumam Dirga.
Pria itu mengulurkan tangan menyentuh tuas itu. Kemudian menarik tuas itu hingga turun ke bawah. Seketika suara yang keras membuat Dirga terkejut. Tatapan Dirga beralih pada jendela yang ada di dalam pos itu. Melalui jendela itu Dirga bisa melihat pintu utama perlahan mulai terbuka. Bibirnya pun membentuk senyuman karena dia berhasil membuka pintu itu.
“Sialan!” Umpat Dirga saat melihat beberapa tentara berlari ke arahnya.
“Aku enggak bisa biarkan mereka menutup pintunya.” Dirga berjalan mondar-mandir untuk memikirkan caranya.
Tatapannya tertuju pada pintu utama yang sudah mulai terbuka setengahnya. Kemudian manik mata gelap Dirga beralih kembali pada panel yang ada di hadapannya. Dirga memiliki ide yang gila dalam pikirannya. Laki-laki itu mengulurkan kedua tangannya dan menyentuh panel itu. Dia mengerahkan kekuatannya hingga membuat api muncul di tangannya. Api itu mulai menjalar ke seluruh panel. Segera Dirga bergegas keluar.
Api yang menjalar di seluruh panel itu menciptakan ledakan yang besar. Sehingga Dirga yang berhasil keluar dari pos terhempas jatuh ke tanah. Tubuh laki-laki itu berguling di atas tanah sebelum akhirnya berhenti. Dia mengesampingkan rasa sakit yang ada di tubuhnya. Segera laki-laki itu bangkit berdiri. Dia melihat para tentara masih terkejut dengan ledakan yang baru saja diciptakan olehnya.
“Kak Dirga.”
Panggilan itu membuat Dirga menoleh. Dia bisa melihat Rhea, Zura, dan Arya yang membawa Isha berjalan menghampirinya. Segera Dirga menghampiri mereka. Dia bisa melihat Arya tampak kelelahan sehingga Dirga mengambil alih Isha dan menggendongnya.
“Aku berhasil membuka pintunya.” Ucap Dirga.
“Dengan meledakkannya?” tebak Arya.
“Tadi aku berhasil membukanya. Karena enggak mau para tentara itu menutupnya lagi, maka aku meledakkannya.”
Rhea, Arya dan Zura membuka mulut mereka tak percaya mendengar penjelasan Dirga. Mereka tidak menyangka jika laki-laki yang biasanya tidak banyak bicara itu bisa melakukan tindakan yang sangat ekstrim.
“Kita harus pergi sekarang. Ada banyak tentara di depan.” Ucap Dirga.
“Tapi bagaimana dengan Kak Devan?” tanya Rhea.
“Memang di mana Devan?” Dirga baru menyadari jika Devan tidak datang bersama mereka.
“Tadi Kapten Bima dan para tentara menyerbu kami. Karena itu Devan menyuruhku membawa Isha pergi agar dia bisa melawan mereka.”
“Sial! Kita enggak punya waktu banyak. Kita harus segera pergi dari sini.” Ucap Dirga.
“Kalau begitu, ayo kita pergi dari sini.”
Suara itu membuat mereka menoleh. Mereka bisa melihat Devan berlari menghampiri mereka. Rhea menatap Devan dengan kebahagiaan yang membanjiri hatinya. Gadis itu menghampiri Devan dan memeluknya.