Neophyte : The Destroyer Weapon

Quinceline
Chapter #25

24.Suara Apa Itu?

Kemampuan satu orang dengan orang lain berbeda. Tidak ada yang sama. Sehingga ketika berada dalam tim, harus mampu memahami kemampuan orang lain juga.


* * * * *


“Kak Devan, kita harus berapa lama lagi? Aku capek!” Rengek Isha setelah berjalan berjam-jam menyusuri hutan.


Devan berhenti melangkah. Laki-laki itu berbalik dan melihat adiknya bersandar pada salah satu pohon. Gadis itu terengah-engah dengan wajah yang pucat. Terlihat jelas dia sangat kelelahan. Devan mengamati anggota timnya yang lain. Mereka juga mengalami kelelahan yang sama seperti Isha.


“Kalau begitu kita akan istirahat dulu.” Ucap Devan duduk di atas tanah.


“Enggak bisa, Devan. Kita harus terus bergerak. Aku yakin para tentara itu sedang mencari kita.” Protes Dirga.


“Kita berjalan lebih jauh dari mereka. Lagipula hutan ini luas. Enggak mudah bagi mereka menemukan kita. Jadi enggak masalah kalau kita beristirahat sebentar.” Jawab Devan dengan tenang.


“Tapi mereka bisa saja menemukan kita lebih cepat. Mereka memiliki peralatan yang menunjang mereka.”


Devan menghela nafas kasar sebelum akhirnya berdiri. Laki-laki itu menghampiri Dirga dan mencengkram kerah bajunya.


“Bisakah kamu enggak menebar ketakutan seperti itu, Dirga? Apa kamu enggak lihat anggota tim-mu yang lain? Kita sudah berjalan jauh tanpa makanan dan tanpa minuman. Kamu pikir hal ini mudah bagi mereka HUH?” marah Devan.


Dirga terdiam. Laki-laki itu menoleh ke arah Rhea, Isha, Arya dan juga Zura. Mereka tampak kelelahan dengan tubuh yang lemas. Saat itulah Dirga menyadari jika kondisi fisik mereka berbeda dengannya. Dirga terbiasa berolahraga sehingga ketika keadaan mengharuskan dia berjalan jauh, dia bisa melakukannya. Tapi hal itu tidak berlaku bagi orang lain.


“Akan lebih baik berjalan sedikit demi sedikit daripada kita harus memaksakan orang lain berjalan hingga pingsan. Kamu mengerti?” Devan mengguncangkan tubuh Dirga.


Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Dirga terlihat menyesali tindakan protesnya tadi. “Ya, aku mengerti. Maafkan aku.”


Mendengar ucapan Dirga, akhirnya Devan melepaskan kerah baju Dirga. Namun tiba-tiba suara lain membuat tubuh Devan dan teman-temannya menegang. Segera mereka merapatkan diri mereka satu sama lain sembari memasang sikap waspada.


“Suara apa itu, Kak?” tanya Rhea.


Devan menggelengkan kepalanya. “Aku enggak tahu. Tapi apapun itu, kita harus waspada.”


Suara itu semakin mendekat. Seperti suara ada yang melewati rerumputan dengan cepat. Sialnya karena tidak ada air, Devan tidak bisa menggunakan kekuatannya. Sedangkan Dirga sudah mengeluarkan api di dalam tangannya. Rhea juga mengeluarkan kilat listrik di tangannya. Jantung mereka berdegup dengan kencang karena takut untuk melihat apa yang akan mereka hadapi. 

Lihat selengkapnya