"Orang tua itu layaknya pelita sebagai penerang hidup. Ibarat cahaya lilin yang selalu setia menerangi setiap sudut jalan. Dan sebagai semangat yang menjadi motivasi tuk tetap kuat untuk terus melangkah maju.”
* * * * *
Zura membuka pintu rumahnya. Suasana rumah tampak sunyi. Membuat gadis itu bertanya-tanya ke mana perginya orang tuanya.
"Abah… Umi…" Panggil Zura berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Rumah sederhana itu masih sama seperti sebelum Zura meninggalkannya. Dengan sofa coklat, rak TV berbahan kayu dan juga beberapa pigura foto yang menampilkan foto keluarga Zura. Foto itu menampilkan Zura, ayah, ibu dan juga kakaknya —Erlangga— yang sudah lama menghilang.
"Abah kamu dengar suara enggak tadi?"
Samar Zura bisa mendengar suara ibunya yang sedang bicara dengan sang ayah berada di kebun belakang rumah.
"Paling hanya halusinasimu, Umi. Zura berada di tempat yang aman sekarang." Sahut sang ayah.
Langkah Zura berhenti di ambang pintu. Tatapannya beralih pada orang tuanya yang sedang berkebun.
"Abah… Umi…"
Suara Zura mengalihkan perhatian Abbas dan Maysa. Mereka terkejut melihat putri mereka berdiri di hadapannya. Seketika mereka langsung berdiri. Melepaskan sarung tangan mereka dan menjatuhkannya ke lantai. Segera mereka menghampiri Zura.
"Zura, kamu ngapain di sini?" tanya Abbas panik melihat putrinya yang seharusnya berada di kamp pengamanan tiba-tiba muncul di rumahnya.
"Apa kamu kabur dari kamp pengamanan?" tanya sang ibu
Zura tidak bisa menahan air matanya. Dia langsung memeluk kedua orang tuanya.
"Abah. Umi. Zura sangat takut." Ucap Zura sesenggukan.
"Kenapa, Nak? Apa yang terjadi?" Abbas melepaskan pelukan putrinya dan mengusap air mata gadis itu.
"Abah, kamp pengamanan itu hanyalah kedok yang dipakai pemerintah untuk menyembunyikan project yang berbahaya. Pemerintah menggunakan kami sebagai kelinci percobaan ilmiah mereka." Jelas Zura.
"Kelinci percobaan ilmiah? Jangan berbohong, Zura. Mana mungkin pemerintah melakukan hal itu. Mereka hanya ingin mengamankan para pemuda." Abbas tidak mempercayai ucapan putrinya.
Zura menggelengkan kepalanya. "Enggak, Abah. Zura enggak bohong. Bahkan ada beberapa pemuda yang tewas di sana. Karena itulah aku, Arya dan beberapa teman lainnya kabur dari kamp pengamanan itu. Kami takut, Abah, Umi. Bagaimana ini?"
"Abah, Zura enggak mungkin berbohong. Sudah aku duga kamp itu enggak aman." Kali ini Maysa yang angkat bicara.