Sayangnya kenyataan tidak sama dengan mimpi. Baik itu buruk atau tidak, mimpi tetap saja hanya bunga tidur yang tercipta dari alam bawah sadar kita.
* * * * *
Devan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Dia bisa mendengar suara Isha yang sedang menceritakan tentang kamp pengamanan. Saat melihat Devan datang semua orang yang duduk di meja makan langsung berhenti.
“Devan, dari mana saja kamu?” Agustin, ibu Devan, berjalan menghampiri putranya. Dia memeluk lengan putra sulungnya lalu menariknya menuju kursi kosong.
“Tadi Devan anterin Rhea pulang dulu. Kasihan dia takut.” Jelas Devan duduk di dekat sang ayah.
Ganjar menepuk bahu putranya. “Begini Putra Papa. Gentleman.”
Devan tersenyum mendengar suara ayahnya yang terdengar bangga. “Aku hanya cemas padanya, Pa.”
“Sudah. Sudah. Makan dulu. Kata Isha sejak semalam kalian belum makan?” Agustin mengambil nasi dan meletakkannya di atas piring putranya.
“Makasih, Ma.” Devan mengambil ayam goreng bagian paha dan juga mengambil sayur asem khas buatan mamanya.
“Soal kamp pengamanan itu, apa benar, Devan? Mereka menjadikan para pemuda sebagai kelinci percobaan?” tanya Ganjar yang masih belum percaya mendengar cerita putri bungsunya.
Devan menganggukkan kepalanya. “Benar, Pa. Pemerintah berencana membuat manusia super untuk melawan negara-negara lain yang berusaha mengambil daerah kekuasaan Indonesia. Aku bisa membuktikannya pada Papa.”
Devan menggerakkan tangan. Sehingga air putih yang ada di gelas Ganjar terangkat. Devan sengaja membentuk air itu seperti ikan hiu yang berenang ke sana kemari. Ganjar dan Agustin terkejut melihat putra mereka bisa mengendalikan air.
“Ba-bagaimana bisa kamu melakukannya?” tanya Agustin terheran-heran.
“Karena ini kekuatanku, Ma. Setiap anak memiliki kekuatannya sendiri-sendiri. Isha bisa mengendalikan hewan. Dirga bisa mengendalikan api. Isha bisa mengendalikan listrik. Sedangkan Arya dan Zura masih belum mengetahui kekuatan mereka.
“Sungguh tidak manusiawi. Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu pada anak-anak kita?” Agustin menggenggam tangan suaminya.
“Jadi kelinci percobaan itu memang benar. Aku masih tidak percaya kita mempercayakan anak kita kepada pemerintah. Tidak bisa dibiarkan. Kita harus mencari cara menghentikan pemerintah.” Geram Ganjar.
“Apa Papa punya ide?” tanya Devan masih terus makan.
“Papa tidak hubungan dengan pemerintah. Tapi kupikir pamanmu, bisa membantumu.”
Isha memicingkan matanya melihat sang ayah. “Pamanku? Maksud Papa yang mana? Paman Andre si pengusaha? Paman Michael si polisi? Atau Paman Jordan si dokter?”
“Paman Michael. Aku pikir dia bisa membantu kalian mencari jalan keluar. Karena menghadapi pemerintah bukanlah perkara yang mudah.” Jelas Ganjar.
“Tapi polisi juga termasuk bagian pemerintah, Pa. Apa Papa Paman Michael bisa bantu?” ragu Devan.
“Tenang saja, Devan. Meskipun Paman Michael adalah polisi, dia tidak sepenuhnya melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Jika dia tahu masalah tentang pemerintah ini, dia pasti punya koneksi yang menghubungkan kalian pada orang-orang yang menentang Presiden Baska.” Jelas Ganjar penuh dengan keyakinan.
Akhirnya Devan menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku dan yang lainnya akan pergi menemui Paman Michael.”
“Kalian tidak menginap dulu di sini?” tanya Agustin.
“Iya, Kak. Kita menginap dulu saja. Aku lelah.” Rengek Isha.
Devan menggelengkan kepalanya. “Enggak bisa, Isha. Akan sangat berbahaya untuk Papa dan Mama kalau Kapten Bima tahu kita di sini.”