Terkadang manusia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Dia harus mengorbankan salah satu yang dimilikinya untuk tetap memegang pilihan lainnya.
* * * * *
Dirga baru saja selesai mandi. Dia merasa tubuhnya segar kembali setelah mandi. Selesai mengenakan pakaian milik Devan, Dirga mendengar suara debuman yang sangat keras di lantai bawah. Merasa ada yang tidak beres, pemuda itu berjalan keluar dari kamar.
“DEVAN!” Seru Agustin membuat tubuh Dirga menegang.
Segera dia berjalan menuruni tangga. Namun saat melihat ada tentara, dia menghentikan langkahnya. Dia menunduk untuk melihat keadaan. Dia bisa melihat beberapa tentara membawa tubuh Devan yang sudah dibius.
“Sial!” Umpat Dirga dengan suara lirih.
Lalu tatapan Dirga tertuju pada Arya. Laki-laki itu sama sekali tidak dibius. Dia hanya berdiri di samping tentara dan memandang Devan yang kehilangan kesadaran. Perasaan bersalah tercetak jelas di wajah Arya. Tatapan Devan tertuju pada Arya yang mendongak. Membuat tatapan mereka bertemu. Tanpa mengeluarkan suara, Arya membuka mulutnya. Dirga menebak kata yang diucapkan Arya adalah kata ‘maaf’.
Setelah mengatakan itu Arya berusaha mengalihkan pandangannya ketika Bima berjalan menghampirinya. Arya sangat gugup. Dia takut jika Bima menyadari keberadaan Dirga.
“Apa hanya Devan dan Isha di sini?” tanya Bima.
Arya menganggukkan kepalanya. “Ya, kami berencana pulang ke rumah kami masing-masing. Karena aku enggak dekat sama Dirga, aku tidak tahu di mana rumahnya.”
“Kamu tidak mencoba berbohong ‘kan?” Bima memicingkan matanya.
Arya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Enggak, Kapten. Aku benar-benar enggak bohong. Mana mungkin aku berbohong saat nyawa orang tuaku berada di tanganmu.”
“Baiklah. Aku percaya padamu. Aku akan mengirim orang untuk mencari tahu di mana rumah pemuda api itu.” Tatapan Bima beralih pada tentara yang berdiri di samping Arya. “Bereskan mereka. Aku akan membawa pemuda ini.”
Tentara itu menganggukkan kepalanya. “Baik, Kapten.”
Bima menarik baju Arya keluar dari rumah Devan. Sedangkan satu tentara tersisa berjalan menghampiri kedua orang tua Devan. Mengetahui rencana tentara itu untuk membunuh orang tua Devan, segera Dirga turun. Mendengar langkah kaki Dirga, tentara itu menoleh. Dia mengangkat senjatanya hendak menmbak Dirga. Tapi laki-laki itu sudah terlebih dahulu memegang ujung senjata itu.
“Kamu enggak akan bisa menembakku.”
Tentara itu mendengus sinis. “Kamu terlalu percaya diri.”
Sayangnya ketika tentara itu menarik pelatuknya, senjata itu tidak bisa bekerja. Saat melihat ke arah senjata, dia terkejut melihat ujung senjatanya meleleh.
“Jadi kamu si bocah api itu?” terkejut tentara itu.
“Benar. Tapi sayangnya aku enggak bisa membiarkanmu keluar hidup-hidup.” Dengan kepalan tangan yang diselimuti api, Dirga memukul perut tentara itu. Dengan tiga kali pukulan sudah membuat tentara itu tumbang ke lantai.
Ganjar memeluk istrinya ketakutan. Mereka terkejut melihat tindakan Dirga. Terutama kekuatan yang dimiliki laki-laki itu. Setelah menyingkirkan api dari tangannya, Dirga menghampiri kedua orang tua Devan.
“Om, Tante, maaf sudah bikin kalian melihat sesuatu yang mengerikan.” Ucap Dirga.
Ganjar menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, Nak Dirga. Kamu berusaha menyelamatkan kami.”
“Apa yang terjadi tadi?” tanya Dirga melihat rumah Devan berubah kacau balau.