Neophyte : The Destroyer Weapon

Quinceline
Chapter #35

34.ST-1

Penyesalan terlambat jauh lebih baik daripada tidak ada penyesalan sama sekali.


* * * * *


“Sial!” Umpat Devan melihat tetesan air mata berukuran kecil yang melayang di hadapannya. 


Karena bukan orang cengeng sehingga Devan kesulitan untuk mengeluarkan air mata yang banyak. Padahal dia butuh air yang banyak untuk membuka gembok digital yang ada di pintu. Devan menggenggam air matanya itu itu kemudian di menyandarkan kepalanya di dinding. Laki-laki itu memejamkan matanya. Membayangkan memori yang membuatnya sedih. Dengan begitu dia bisa menangis lagi.


Namun sebuah ledakan membuat Devan membuka matanya. Segera laki-laki itu berdiri dan menghampiri dinding kaca. Dia bisa melihat asap mengepul dari arah pintu. Orang-orang berjas putih berlarian kesana kemari karena panik. Sedangkan para tentara mempersiapkan senjata mereka untuk melawan siapapun yang muncul di pintu itu.


Devan memicingkan matanya untuk melihat jelas siapa yang berada di balik asap itu. Namun tiba-tiba lampu-lampu mulai berkedip sebelum akhirnya pecah membuat orang-orang di bawah menutupi kepala mereka dengan tangan mereka. Saat itulah Devan tersenyum lebar. Dia tahu siapa yang mampu melakukan itu.


Benar saja dugaan Devan. Dia bisa melihat Rhea berjalan masuk bersama dengan Zura dan Dirga. Segera Rhea berjalan menghampiri tabung di mana Devan ditahan.


“Kak Devan, kamu baik-baik saja?” tanya Rhea.


Devan menganggukkan kepalanya. “Ya, aku baik-baik saja.”


“Bagaimana caranya membuka pintu ini?” Rhea menunjuk pada gembok digital yang tidak rusak meskipun Rhea menggunakan kekuatannya.


“Apakah kamu punya air atau benda apapun berbentuk cairan? Aku bisa membukanya dengan menggunakan air atau cairan itu.”


“Aku punya air minum.” Ucap Zura mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya.


“Bagus, Zura.” Devan segera menggunakan kekuatannya untuk mengeluarkan air dari dalam botol minum itu. Dia menggerakkan air itu masuk ke dalam gembok digital itu. Menggunakan cara sebelumnya, Devan berhasil membukanya.


Setelah pintu itu terbuka, Rhea langsung memeluk Devan. “Aku takut terjadi hal buruk sama Kakak. Maafkan aku enggak bisa menyelamatkan Kakak sebelumnya.”


Devan menyunggingkan senyuman dan mengelus rambut sang pacar. “Enggak apa-apa, Rhe. Sekarang kamu sudah menyelamatkan aku. Sebaiknya kita bergegas menyelamatkan Isha dan pergi dari sini.”


Rhea menganggukkan kepalanya lalu melepaskan pelukannya. Devan dan Rhea menghampiri tabung di dekat tabung dimana Devan dikurung. Sementara Dirga dan Zura melindungi mereka dari musuh-musuh yang hendak menghentikan mereka.


“Kak Devan, Rhea!” Seru Isha menyentuh dinding kaca itu dengan wajah gembira.


Segera Devan menggunakan kekuatannya untuk membuka gembok digital seperti yang mengunci dirinya. Setelah terbuka, Isha segera memeluk kakaknya. Gadis itu sangat senang bisa terbebas.


“Kita harus segera pergi, Isha.” Ucap Devan melepaskan pelukan adiknya.


“Kalau begitu ayo ikuti kami. Kami tahu jalan keluarnya.” Ucap Dirga menembakkan semburan api ke arah salah satu tentara yang hendak menembaknya.


“Tunggu dulu. Kita juga harus menyelamatkan Arya.” Ucapan Devan membuat Dirga, Rhea, Isha, dan Zura menatap laki-laki itu terkejut. 


“Dia sudah mengkhianati kita, Kak. Untuk apa menyelamatkannya?” kesal Isha.


Lihat selengkapnya