Jika setiap anggota tim saling menguatkan ego dan menarik kaki masing-masing dari energi kolaborasi dan kerja sama, maka setiap anggota tim akan terpisah dari kekuatan kerja sama dan hanya mampu berdiri sendiri tanpa memiliki kekuatan yang besar." - Djajendra
* * * * *
“Suara apa itu, Kak?” tanya Isha menatap cemas ke arah pintu ruangan itu.
“Seperti suara ledakan. Apakah ada orang yang membobol tempat ini?” tanya Devan kepada Sofyan.
Pria itu mengecek kamera CCTV di laboratoriumnya menggunakan smartphone Gesture-Based Interface yang muncul di gelang pintarnya. Dia bisa melihat asap mengepul masuk ke dalam laboratorium. Lalu tatapannya tertuju pada seseorang yang berdiri di pintu yang sudah diledakkan. Seorang pria seperti mengenakan seragam militer.
“Siapa dia?” tanya Rhea melihat video itu.
“Sepertinya itu Jenderal Elang.” Devan mengenali seragam yang dikenakan pria itu.
“Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Tempat ini tersembunyi. Enggak ada seorangpun yang tahu.” Heran Sofyan.
Lalu tatapan Devan tertuju pada Erlangga yang duduk di samping Zura. Seketika semua orang mengikuti arah pandang laki-laki itu. Erlangga terkejut dengan pandangan curiga mereka. Kemudian laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan aku. Aku engga memberitahu siapapun tentang tempat ini. Lagipula aku enggak punya alat komunikasi yang digunakan untuk menghubunginya.” Jelas Erlangga agar terlepas dari tuduhan.
“Kamu yakin?” tanya Dirga masih tidak percaya.
Erlangga menganggukkan kepalanya. “Sangat yakin. Setelah ingatanku kembali, aku mana mungkin mau bekerja untuk mereka lagi. Apalagi mereka adalah orang-orang yang sudah membunuh orang tua kami.”
Zura berdiri di hadapan Erlangga. Menghalangi tatapan penuh kecurigaan yang diarahkan pada sang kakak.
“Kakakku tidak mungkin melakukannya. Dia sejak tadi bersama denganku. Aku bahkan tidak meninggalkannya sedetikpun jadi aku tahu apapun gerakannya. Kumohon percayalah padanya.” Pinta Zura.
Mencurigai Erlangga sangat mudah. Tapi tidak dengan mencurigai Zura. Gadis itu terlalu polos untuk bisa berbohong. Akhirnya Devan menghela nafas berat.
“Baiklah. Aku percaya padanya. Tapi aku perlu bertanya sesuatu.”
Erlangga memicingkan matanya menatap Devan. “Bertanya apa?”
“Apakah ada benda dari mereka yang menempel di tubuhmu? Seperti jam, gelang, atau benda lainnya?”
Erlangga menggelengkan kepalanya. “Enggak ada. Kalau kamu enggak percaya, aku bisa membuktikannya.”
Erlangga berdiri dan bergeser dari kerumunan itu. Kemudian laki-laki itu menyingkirkan besi-besi yang menempel pada tubuhnya. Lempengan-lempengan besi tebal itu melayang di sekitar Erlangga. Dirga berjalan menghampiri Erlangga untuk menggeledah tubuh laki-laki itu. Dirga tidak menemukan apapun. Yang menempel pada tubuh Erlangga hanya kaos hitam dan celana jeans berwarna sama.