“Kamu bilang Zura kehilangan satu-satunya keluarganya, Arya. Kalau begitu dia akan mendapatkan keluarga baru. Kita semua akan menjadi keluarga Zura. Kita akan menjadi saudara yang akan saling menjaga satu sama lain.”
* * * * *
Isha duduk di samping ranjang di mana Devan masih terbaring tidak sadarkan diri. Bibir Isha bergetar melihat wajah pucat sang kakak. Gadis itu mengulurkan tangannya. Dia menyentuh punggung tangan Devan dan mengguncangkannya.
“Kak. Kak Devan!” Panggil Isha. Bagi gadis itu sang kakak seperti sedang tertidur. Dia berharap dengan mengguncangkan punggung tangan sang kakak, dia akan bangun. Dulu jika Isha takut tidur sendirian, dia akan berlari ke kamar Devan. Gadis itu hanya perlu mengguncangkan punggung tangan Devan seperti yang baru saja dilakukannya. Biasanya jika Isha melakukan hal itu, Devan akan langsung bangun. Tapi tidak kali ini.
Isha kembali mengguncangkan punggung tangan Devan. Kali ini lebih kencang. “Bangun, Kak. Kenapa Kakak enggak buka mata? Aku beneran takut.”
Sayangnya tidak ada respon dari Devan. Laki-laki itu tidak kunjung membuka matanya. Melihat hal itu membuat Isha tidak bisa menahan tangisnya lagi.
“Kak, aku sudah meminta seekor singa untuk menggigit Presiden Baska. Aku nyaris membunuhnya. Saat Kak Dirga mengecek pria itu, dia menembak ke arahku. Kak Dirga menghalangi peluru itu dengan alasan kalau dia sudah berjanji kepada Kakak untuk menjagaku. Bagaimana ini, Kak? Aku… aku takut kalau terjadi hal buruk dengan Kak Dirga. Bagaimana kalau… kalau dia mati karena aku?” bahu Isha bergetar karena menangis. Gadis itu menggenggam tangan Devan sembari menunduk. Air mata Isha berjatuhan di lantai.
“Kamu bisa bikin ruangan ini banjir kalau nangis terus.”
Isha mendongak dan terkejut mendengar suara kakaknya. Dia bisa melihat Devan sudah membuka matanya. Seketika bibir Isha menyunggingkan senyuman lebar.
“KAK DEVAN!” Seru Isha.
Devan menutup telinganya mendengar suara adiknya. “Kamu bisa bikin aku pingsan lagi mendengar teriakanmu, Isah.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Rhea dan Arya bergegas masuk ke dalam setelah mendengar teriakan Isha.
“Ada apa, Isha?” tanya Rhea cemas.
Namun sebelum Isha menjawab pertanyaan sahabatnya itu, tatapan Rhea sudah beralih pada Devan yang sudah sadarkan diri. Bibir laki-laki itu menyunggingkan senyuman lemah melihat Rhea.
“Kak Devan.” Masih tak percaya Devan sudah sadar, Rhea berjalan menghampiri ranjang laki-laki itu. Gadis itu berlutut di samping ranjang Devan dan menggenggam tangannya.
“Kamu sudah sadar. Ya, Tuhan. Syukurlah.” Rhea menangis karena lega akhirnya Tuhan mendengarkan doanya.
“Kamu enggak apa-apa, Rhe? Apakah kamu terluka?” tanya Devan cemas.
Rhea menggelengkan kepalanya. “Enggak. Aku enggak terluka, Kak. Justru Kak Devan yang terluka karena memaksakan diri. Aku… aku begitu takut.”