Pintu kelas B-101 terbuka perlahan, menampakkan seorang perempuan berkemeja cokelat polos dari belakang. Bu Tita, dosen pengampu mata kuliah Undang-undang Kesehatan yang sedang mengajar saat ini, lantas menoleh ke arahnya sambil mendelikkan matanya dengan tajam.
Suasana kelas menjadi menegang tatkala wanita itu bergerak menghampiri gadis yang masih berdiri di dekat pintu masuk.
"Memang siapa yang nyuruh kamu masuk ke kelas ini?" Pertanyaan itu berhasil membuat gadis bernama Naretha ini mematung. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, bersembunyi dari sorot tajam bak elang yang seakan akan mencabik penglihatannya saat ini juga.
"M-maaf Bu, saya terlambat. Tadi pagi saya terjebak macet di pertigaan dekat kampus," jelas Retha sambil terus menundukkan kepalanya.
"Ya memang. Setiap jam segini daerah situ selalu macet kalau jam segini. Tapi kenapa kamu gak berangkat lebih pagi? Liat temen-temen mu, mereka juga ngelewatin jalan yang sama kok. Tapi tidak datang terlambat seperti kamu."
Retha masih terus menundukkan kepalanya sambil menutup mulut rapat-rapat. Dia benar-benar sudah pasrah dengan apa yang akan dilakukan dosen tersebut padanya, walaupun di dalam hati dia terus berdoa agar Bu Tita tidak mengusirnya dari kelas.
"Ya sudah. Karena mood saya sedang baik, saya izinkan kamu masuk untuk hari ini. Tapi kalau besok-besok diulangi lagi, kamu tidak boleh masuk kelas saya di semester ini. Mengerti?"
"Mengerti, Bu," jawab Naretha sembari manggut-manggut. Setelah Bu Tita kembali ke meja dosen di depan, perempuan itu berjalan tergesa-gesa menyusuri deretan bangku yang telah terisi. Kemudian ia berhenti di samping bangku kosong sebelah Zia dalam barisan paling belakang.
"Gue udah deg-degan takut lo gak dibolehin masuk, tau." Zia lantas bersuara sembari mengangkat tas yang ada di kursi sebelah agar Retha bisa duduk di sana. "Lo kenapa terlambat sih? Padahal kosan lo juga gak jauh-jauh amat," lanjutnya.
"He he he kesiangan gue ... "
Zia menggelengkan kepalanya, merespon Naretha yang sekarang malah cengengesan.
"Haduh ... Lo begadang lagi?"
"Iya. Laporan Sediaan Semi Solid gue belum kelar, jadi ya gue kebut deh semaleman."
"Dua-duanya?"
Naretha mengangguk pelan. "Gue males kalo nyicil. Lebih seru mepet deadline hehe."
Zia lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Kali ini disertai dengan tatapan penuh dengan rasa heran yang ditujukan untuk perempuan berambut kecoklatan di sebelah. Sungguh, jalan pikiran Naretha sama sekali tidak bisa ditebak. Bagaimana bisa dia menyelesaikan dua laporan sekaligus dalam waktu yang singkat? Apalagi dua laporan tersebut harus ditulis tangan yang artinya, Retha perlu mengeluarkan tenaga lebih untuk menyelesaikan tugas tersebut.
"Lo sampe jam berapa semalem?"
"Jam 4, mungkin? Kayaknya gue cuma tidur satu jam deh, Zi."
Iya, udah kelihatan kalau Etha kurang tidur tadi malam. Terdapat lingkaran hitam yang cukup besar di bawah sepasang mata bulatnya, membuat perempuan itu tampak seperti seekor panda. Belum lagi kerap kali ia menguap dan menggosok matanya yang berair. Zia jadi khawatir kalau-kalau anak ini tiba-tiba jatuh tertidur di dalam kelas, apalagi saat ini mereka sedang diajar oleh salah satu dosen yang dikenal sebagai 'mata elang' karena bisa dengan mudah menemukan mahasiswa yang tidak menyimak pelajaran.
"Re, jangan tidur."
"Nggak kok, gue gak tidur."
Retha bilang seperti itu padahal matanya sayup-sayup udah menutup.
"Kamu, yang dibelakang." Bu Tita tiba-tiba menunjuk ke arah barisan paling belakang, atau lebih tepatnya pada deretan bangku Zia dan Retha.
"Saya, Bu?"
Bu Tita menggeleng pelan. "Bukan, tapi sebelah kamu."
Zia buru-buru menyenggol Retha yang sudah terantuk-antuk di sebelah. Perempuan itu tersentak. Kemudian dia menoleh kepada Zia dengan mata yang memicing. Tak lama dari itu, Retha menjatuhkan kepalanya di atas meja, bermaksud melanjutkan mimpi yang sempat terhenti karena sentakan dari Kezia.
BRAKK!