Langkah kecil Ara membelah genangan air di sepanjang jalan yang ia lewati. Menciptakan suara kecipak dan cipratan-cipratan air ke tulang betis hingga lutut.
Hujan masih turun dengan deras, tapi langkahnya tak surut. Ia terus berjalan dengan tergesa-gesa. Tangan kiri sibuk memegang tas belanjaan, sementara tangan kanan sibuk memegang payung. Beberapa kali langkahnya melambat karena terpaan angin yang datang dengan tiba-tiba. Namun dengan mempererat pegangan di gagang payung, segera langkahnya kembali cepat.
Ara mengeluh kesal. Sekarang sudah jam 9 malam. Harusnya ia sudah berada di rumah sejak 2 jam yang lalu. Tapi karena beberapa tugas kelompok yang harus ia selesaikan di sekolah, kepulangannya menjadi tertunda. Belum lagi ia harus mampir dulu ke pasar untuk berbelanja kebutuhan makan malam. Ah, ia khawatir dengan Harry. Adik lelakinya itu pasti sendirian di rumah.
Apakah ia sudah makan? Apakah ia ketakutan dengan hujan badai ini? Gadis itu bergumam bingung.
Langkah kakinya baru sampai di perempatan jalan, dua blok dari rumahnya ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara bergemuruh.
Spontan gadis itu berhenti lalu mengalihkan payung untuk melihat ke arah datangnya suara tersebut. Ia menggerakkan payungnya perlahan, lalu mendongak dengan hati-hati. Dan di sana! Tepat di atas kepalanya, cabang pohon berukuran raksasa itu bergerak dengan dahsyat, menimbulkan suara gemeretak, lalu meluncur ke arah dirinya!
Kedua bola mata Ara membelalak. Kakinya ingin berlari tapi entah mengapa ia seperti kehabisan tenaga. Bahkan untuk berteriak saja ia seakan tak mampu.
Ibu! Hatinya memekik.
Dan itu terjadi dengan begitu cepat.
“Awas!” Seseorang berteriak, menubruk dirinya dengan tubuhnya sendiri, hingga gadis itu terpental, menjauh, tepat ketika cabang pohon itu berdebum ke tanah.
Ara meringis. Tubuhnya terjatuh ke aspal. Tapi anehnya ia merasa aman. Seseorang mendekap tubuhnya dengan sikap protektif.
“Kau baik-baik saja?”
Dan suara itu seakan membangunkannya dari tidur. Kedua matanya terbuka dan segera tatapan mata itu beradu dengan mata coklat memikat dari seorang pemuda yang tengah mendekap tubuhnya.
Ara menelan ludah. Keduanya berpandangan.
“Hei, kau tak apa-apa?” Pemuda itu kembali bertanya cemas. Matanya coklat terang memikat. Surai rambutnya yang lebat nampak basah oleh rintikan air hujan.
Ara menelan ludah. “Aku ... baik,” jawabnya lirih.
Pemuda itu beringsut dari atas tubuhnya lalu membantunya untuk duduk. “Syukurlah.” Ia menggumam.
Ara menatap sekelilingnya dengan bingung.
Tampak cabang pohon berserakan di atas trotoar dan sebagian jalan. Tas belanjaan berikut isinya berantakan tak karuan. Sementara payungnya, ah, entah terbang ke mana.
Tak berapa lama orang-orang mulai datang berkerumun. Beberapa pengendara mobil juga berhenti demi untuk menghindari cabang pohon yang nyaris menutup jalan. Dalam waktu singkat, situasi menjadi ramai. Suara klakson di mana-mana.
“Nona, kau tak apa-apa?”
“Apa kau terluka?”
“Apa perlu kami antar ke rumah sakit?”
Beberapa orang mendekat dan menanyainya dengan cemas.
Ara duduk dengan linglung. Masih dengan tubuh yang sedikit gemetar karena syok, ia menatap ke arah beberapa orang yang melihatnya dengan cemas.
“Aku ... baik-baik saja,” jawab Ara lirih. “Dia ... menyelamatkanku.” Gadis itu menengok ke arah pemuda yang tadi mendekapnya. Dan ia menyadari ... pemuda itu sudah tidak ada.
Eh?
Ara melihat sekeliling dengan bingung. Dan ia benar-benar sadar, pemuda bermata coklat dengan surai lebat itu sudah tidak ada.
°°°
Ara membuka pintu dengan tergesa-gesa lalu menyeruak masuk tanpa terlebih dahulu melepas sepatu. Ia gadis yang rapi, biasanya ia akan melepas sepatunya lalu menatanya di rak dengan baik sebelum masuk ke dalam rumah. Tapi malam itu, ia seolah tak sempat melakukannya.
“Harry!” Ia menyusuri ruang tamu dan mendekat ke anak tangga, memanggil nama adik lelakinya.
Terdengar derap kaki dan beberapa saat kemudian seorang bocah berusia 7 tahun muncul, menuruni anak tangga dengan lincah.
“Kakak lama sekali.” Ia mencicit.
Ara menarik napas lega.
“Maaf Kakak terlambat pulang. Tiba-tiba saja Kakak punya tugas sekolah dan harus diselesaikan di sana.” Gadis itu meletakkan tas ranselnya di meja dekat anak tangga lalu memutar langkah menuju dapur masih sambil menenteng tas kresek berisi barang belanjaan.
Barang belanjaan itu sebenarnya sempat tercecer di jalan setelah ia mengalami insiden ‘dahan jatuh’. Tapi beberapa orang baik hati membantunya mengumpulkan kembali barang-barang belanjaan tersebut, bahkan memberikannya tas kresek baru.
“Kenapa Kakak basah kuyup dan kotor begitu? Apa Kakak habis jatuh? Kakak kehujanan? Kakak tak membawa payung?” Harry bertanya terus menerus seperti biasanya. Ara menatap tubuhnya sendiri. Ia baru tersadar bahwa ia basah kuyup, seragamnya kotor, dan ia kelihatan dekil.