Nephilim

Wiwin Setyobekti
Chapter #2

The boys next door

Dan begitulah akhirnya. Ara dibawa ke dalam rumah, entah di sebuah ruang tengah atau ruang utama. Seperti yang sudah Ara duga, bagian dalam dan furnitur rumah tersebut teramat sangat mewah.

“Duduklah.”

Pemuda yang bernama Jose memerintahkan padanya untuk duduk di sebuah kursi kayu dekat jendela. 

Ara menatap sekeliling lalu beranjak duduk di sana dengan tungkai gemetar, sementara 6 pasang mata menatapnya dengan penuh selidik.

Serius, 6 PASANG MATA ada di ruangann itu.

5 pemuda tampan dan seorang perempuan cantik berambut panjang.

Ara kembali menelan ludah dengan susah. Jika saja situasinya sedikit berbeda, ia pasti sudah jatuh bangun terpesona.

Bayangkan saja, saat ini ada 5 lelaki dengan ketampanan di atas rata-rata, berdiri di hadapannya. Pemuda-pemuda yang umurnya tak jauh berbeda dengannya, menawan bagaikan bintang drama, dan ... sungguh, mereka tampan.

Pemuda-pemuda itu, termasuk si perempuan menatapnya penuh selidik dan menghakimi. Seolah Ara adalah sosok tersangka yang siap diinterogasi.

“Dia menaiki tembok rumah kita dan mengendap-endap.” Lelaki jangkung yang memergoki dirinya pertama kali membuka suara.

“Apa kau datang mencuri?” Lelaki bermata indah yang berdiri di samping Si Perempuan berujar.

Serius, kenapa mata mereka cantik-cantik?

“T-tidak!” Ara menjawab cepat. “Aku hanya ingin ...” Kalimatnya terhenti. Apa yang akan ia katakan? Toh mengendap-endap di rumah orang pada malam hari tetap saja tak bisa dibenarkan.

“Apa kau tinggal di rumah sebelah?” Kali ini suara itu datang dari lelaki yang dipanggil Jose. Selain punya mata yang indah dan alis lebat, wajahnya terlihat paling bijak. 

“I-ya.” Ara menjawab lagi. Ia memberanikan diri menatap mereka satu persatu.

“Aku bukan pencuri, sungguh. Aku hanya penasaran. Tadi adikku mengatakan bahwa orang bernama Jose dan Dino datang ke rumah dan memberikan makanan. Sebenarnya aku ingin ke sini besok pagi mengucapkan terima kasih. Tapi aku terlalu penasaran dan memutuskan menaiki tembok untuk mengintip__”

“Kenapa kau mengintip?” Lelaki bernama Daniel memotong. 

“Karena __” Ara menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung. Sial, apa yang akan ia katakan.

“Kau curiga kalau kami adalah sekumpulan orang jahat?” Kali ini sang perempuan yang bertanya. 

“Itu __” 

“Kami bukan orang jahat. Percayalah.” Jose kembali bersuara. “Kami hanya sekumpulan saudara yang hidup mandiri dan baru pindah ke sini. Akulah yang datang ke rumahmu tadi sore,” lanjutnya. Ia tersenyum manis. “Perkenalkan, aku Jose.” 

Ara menatapnya dalam. Wajahnya tidak mencerminkan orang jahat sama sekali.

“Kalian bersaudara?”

Jose mengangguk. “Tidak sedarah. Kami saudara jauh. Tapi kami dekat sekali layaknya saudara kandung,” jawabnya.

“Biarkan kami memperkenalkan diri secara resmi agar tidak ada kesalah pahaman. Aku Jose, yang paling tua di sini. Ia Dino, yang kemarin datang ke rumahmu bersamaku.” Ia menunjuk pemuda yang terlihat paling pendiam di antara mereka. Jika Ara tak salah mengira, umurnya lebih muda beberapa tahun darinya. Wajahnya mungil dan senyumnya lucu. 

“Dia Daniel.” Ia menunjuk ke arah pemuda jangkung yang tadi menolongnya, “Lalu itu Danny,” kali ini menunjuk ke arah lelaki berwajah manis di sisi Daniel. Terlihat mencolok dengan proporsi tubuh mereka yang timpang. Daniel tampak menjulang, sementara Danny terlihat lebih mungil. Tingginya tak jauh berbeda dengan Ara. Satu hal yang membuat Ara terpesona, mereka punya mata yang sama; Bulat, indah dan bening. 

“Kay.” Kali ini Jose menunjuk pada pemuda tinggi berkulit eksotis, kemudian ganti menunjuk pada perempuan cantik yang berdiri berdekatan dengannya. “Dan dia Roa,” lanjutnya. Sepasang muda mudi itu bersedekap dengan was-was.

“Kami baru pindah ke sini tadi siang. Tadinya kami ingin ke rumahmu untuk menyapamu agar kita bisa menjadi tetangga yang baik. Tapi kami hanya bertemu dengan adikmu saja. Maaf jika perkenalan ini sedikit terlambat,” lanjut Jose lagi. 

Ara merasa bersalah karena sempat curiga dengan mereka. Ah, mereka kelihatan manis dan baik. Tak mungkin mereka adalah gembong narkoba atau semacamnya. Terlebih lagi dengan lelaki jangkung yang secara tidak langsung telah menyelamatkannya.

Tadi, ia bisa saja mengalami patah tulang karena terjatuh dari tembok setinggi 6 meter. Tapi ia ingat dengan pasti, ketika tubuhnya melayang, Daniel bergerak dan berusaha menangkap tubuhnya hingga ia tidak menghantam tanah dan bebatuan. 

Ara berdeham. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud kurang ajar dan mengganggu istirahat malam kalian. Aku hanya impulsif dan mencoba mencari tahu tentang kalian begitu saja tanpa tahu sopan santun. Maafkan aku,” ucapnya.

“Namaku Ara,” lanjutnya. “Arabelle.” Ia mengulang.

Setelah perkenalan resmi yang mereka lakukan, lambat laun situasi menjadi cair. Sorot wajah mereka yang tadinya agak tegang mulai menghilang. Lelaki bernama Daniel dan Danny yang pertama kali tersenyum ramah. Mereka bahkan mengucapkan nama Arabelle berkali-kali dengan antusias. 

“Syukurlah kalau kesalahpahaman di antara kita bisa segera dijernihkan. Semoga kelak kita akan menjadi tetangga yang baik. Senang bertemu denganmu.” Jose bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan, meminta Ara untuk menjabatnya. Masih dengan sedikit gugup Ara membalas jabat tangan tersebut. 

“Sepertinya umur kita tidak jauh berbeda. Jadi jangan terlalu bersikap formal seperti ini,” pintanya. 

“I-iya,” jawab Ara gugup.

“Semoga kita semua bisa menjadi teman baik.”

Ara kembali mengangguk kikuk seraya menyudahi jabat tangan mereka. 

Daniel beranjak dan mengacak rambut Ara dengan lembut. “Maafkan untuk yang tadi ya? Kau tak terluka, kan?”

“T-tidak, tak apa-apa. T-terima karena tadi kau juga sempat menolongku.” Ara mengibaskan tangannya dengan segera. Sikapnya membuat beberapa dari mereka terkikik. 

“Kak, aku sudah mengobrol dengan adikmu, Harry. Ia anak yang baik dan pintar. Kami pasti bisa jadi teman baik.” Pemuda bernama Dino membuka suara dengan ceria. 

Ara menyeringai dan mengangguk. “Terima kasih karena sudah bersikap baik dengannya,” ucapnya. 

“Sekarang ... bolehkah aku pergi?” Jantung Ara berdebar menunggu reaksi pemuda-pemuda itu. 

Jose yang pertama kali tersenyum. 

Lihat selengkapnya