Sudah beberapa hari berturut-turut…
Terdengar suara jeritan seseorang dari kejauhan.
Suaranya mengingatkanku pada kebakaran malam itu.
Bagai mimpi buruk yang menjadi nyata.
Rasa trauma terus mengikuti sukmaku.
Ke mana pun aku pergi, rasa ketakutan masih memburu diriku.
Hujan deras terus membasahi tanah. Sambil memegangi payung, Samara berjalan menuju halte. Ia menunggu bus yang datang. Baru saja urusannya selesai di Sendang Laras. Sesekali ia harus mengunjungi toko jajanan dan batik milik mendiang ibunya. Sekedar memeriksa kinerja beberapa karyawan di situ.
Samar-samar, terdengar lagi jeritan wanita yang membuatnya gelisah. Jeritannya beradu dengan gemuruh petir di langit. Ataukah petir bisa menjerit haru bak manusia?
Auranya terasa seperti perasaan was-wasku saat ini.
Dari mana asalnya suara jeritan itu?
Tak mau lama-lama kalut dalam pikirannya. Setelah bus kota datang, ia bergegas naik.
***
Samara memandangi keris berkepala naga di seberang kasurnya. Keris berlapis perunggu itu tergeletak di atas meja belajar. Dalam hati, Samara bertanya-tanya sendiri; bagaimana mungkin keris itu bisa kembali dengan sendirinya?
Berbagai kejadian kelam telah dilaluinya. Semua bermula sejak ibunya meninggal dunia. Entah apalagi yang bakal dijalaninya setelah ini. Sudah sebulan lewat selang peristiwa kebakaran besar yang menghancurkan rumah bu’liknya. Bahkan amat tragis, menewaskan sepupunya yang masih kecil.
Suara ketukan mengejutkannya. Mbok Miyem berdiri di ambang pintu kamarnya. Sambil memegangi cangkir beralaskan piring kecil, si Mbok berujar, “Ndoro, ini Mbok buatkan teh hangat.”
Samara menghela nafas seraya membiarkannya meletakkan cangkir itu di meja. Sebelum si Mbok melangkah keluar kamar, ia mencegatnya, “Mbok, tunggu!”
“Nggih, Ndoro?” jawab si Mbok, tersenyum ramah padanya.
“Siapa yang pulangin keris itu kemarin?” tanya Samara.
Si Mbok mengernyit heran. “Keris?”
“Iya, keris di meja itu,” ujarnya seraya menunjuk dengan dagunya.
Si Mbok menggaruk-garuk cepol berubannya. Terlihat sekali ekspresi bingungnya.
“Si Mbok ndak tahu. Memangnya keris ini sempat Ndoro bawa ke mana?” tanyanya.
Samara mengerutkan alisnya dan bertanya balik, “Loh, Mbok lupa ya? Keris itu sempat aku bawa nginep di rumahnya Lik Brata. Pas malam kebakaran, aku enggak sempat mengamankan barang-barang aku. Boro-boro keris itu—”
“Apa mungkin Mas Nathan yang bawain ke sini?” tanya si Mbok.
Samara menghela nafas lagi dan berkata, “Setiap bertamu, Nathan enggak pernah ngasih keris itu. Apa memang dia yang bawain pulang ke sini?”
Sebelum Mbok Miyem sempat menjawabnya, Mbok Karsiyem datang ke kamarnya.
“Ada apa ini?” tanya si Mbok Kar, penasaran.
Seraya beranjak dari kasur, Samara bertanya padanya, “Mbok apa Nathan yang bawain keris ke sini? Apa mungkin dia pernah datang pas aku enggak di rumah?”
“Keris?” gumam Mbok Kar, terlihat sama bingungnya dengan saudaranya. “Mungkin pihak kepolisian yang pulangin keris itu, Ndoro.”
Samara menggeleng. Lalu mendebatnya, “Enggak mungkin, Mbok. Aku pasti dikabari dulu. Tapi kemarin malam, keris ini sudah ada di meja aku tiba-tiba.”
“Loh, kok bisa ya?” gumam Mbok Miyem, masih kebingungan.
“Apa mbok-mbok ini benar enggak tahu?” tanya Samara sekali lagi.
“Sumpah demi Tuhan, Ndoro. Kita berdua ndak tahu apa-apa,” ujar Mbok Kar.
Jika bukan pihak kepolisan yang memulangkan keris itu, lalu siapa? Lagi pula, masih ada bekas darah yang mengering pada keris itu. Sudah pastilah keris itu akan ditahan pihak kepolisian sebagai barang bukti dalam peristiwa tersebut.
“Enggak mungkin kan, kalau keris itu bisa pulang sendiri?” celetuk Samara.
Kedua mbok-mbok itu bertukar pandang dalam keheningan. Lalu Mbok Kar berujar, “Si Ndoro ndak pernah dengar cerita-cerita kuno, tah?”
Samara mengernyit tak paham. “Maksudnya?”
“Percaya ndak percaya sih, keris mistis begitu bisa pulang pergi sendiri katanya,” ujar Mbok Karsiyem. “Bisa jadi keris itu balik ke pemiliknya yang sah, yaitu Ndoro.”
Samara setengah tersenyum, meremehkan. “Masa’?”
“Si Mbok kan bilang; percaya ndak percaya,” ujar Mbok Kar. “Lagian, ngapain sih Ndoro waktu itu bawa keris Nogososro ke sana? Si Mbok sudah firasat ndak enak dari awal.”
Samara hanya bisa menghela nafas, pasrah dengan jawabannya. Lalu ia berkata, “Maaf ya, Mbok. Sudah buat cemas.”
Kedua mbok-mbok sudah penat mau membahas polemik antara dirinya dan trah Kusuma Wijaya. Bagaimanapun juga, permasalahan ini berakar dari keluarga ningrat itu. Bahkan kejadian yang menimpanya di malam kebakaran, disebabkan oleh bu’liknya sendiri.