Nestapa Dewo

Keefe R.D
Chapter #3

Bab 2. Jeritan Kelam

Dalam alam kelanggengan, seorang wanita merangkak kesakitan di tanah hitam. Wajahnya menjadi lusuh seperti sukmanya. Paparan asap panas yang mengepul di udara, begitu menyiksanya. Sambil menahan sakit, ia menjerit-jerit.

“AKU…”

“GUSTI BRATAWATI!”

“…BAKAL HIDUP!”

Wanita berkonde itu terus merangkak lemas. Siksaan di alam kelam ini membuatnya amat menderita. Kebaya merah dan jarik batik yang dikenakannya terpapar kotor oleh debu dari tanah gersang. Ia terus bergerak, berusaha menggapai sesuatu di hadapannya.

“AKU BUTUH URIP ING DUNYO!” [1]

“AKU BAKAL BERKUASA!”

Bagai ada percikan api yang melukainya berulang kali. Sukmanya berusaha melepaskan diri dari alam itu. Ia ingin kembali menuju alam kehidupan. Namun di alam seberang yang kelam ini, sukmanya hanya mampu menjerit tersiksa.

Penyiksaan yang tiada habisnya. Penderitaan yang tiada usainya. Keabadian sungguh terasa kekal dalam alam ini. Hanya ada satu-satunya cara untuk melepaskan diri.

Ketika ambisi sukmanya amat kuat, sisa-sisa energi kehidupannya mampu memanggil bala sekutunya di alam gaib. Kekuatan para setan pun akhirnya mampu mengeluarkannya dari alam penyiksaan. Ataukah Tuhan memang membiarkannya lepas?

Jeritan mautnya telah membebaskannya dari alam itu. Ia terkekeh bak iblis. Rasa kebebasan telah didapatkannya. Kini sukmanya menggebu-gebu, menginginkan sesuatu.

Seketika ia teringat wajah gadis rupawan seorang cucu raja. Gadis itu yang telah memusnahkannya sampai ke alam baka. Yaitu keponakannya sendiri. Dialah Samara Nadra.

Kini ia menginginkan pembalasan dendam. Bersama bala setan, ia akan bersekutu. Demi mencapai alam rogo sukmo, ia harus bertapa dalam kegelapan. Ia mulai menembangkan durma dan mantra-mantra kuno.

Beberapa saat, ia terhenti.

“Darah…” gumamnya.

Sebelum ia dapat menembus alam itu, ia bakal membutuhkan sesuatu.

“Aku butuh darahnya!”

***

Samara tak bisa tidur nyenyak malam itu. Ia terus berbaring gelisah di atas kasur. Keringat bercucuran. Entah apakah ia sedang bermimpi atau merogo sukmo. Yang pasti, ia telah memasuki suatu alam nan kelam.

Di sana ia melihat banyak makhluk halus. Wujud mereka yang amat berantakan, membuat Samara gentar. Sekujur tubuhnya kaku. Ia tak dapat berlari dari para makhluk menyeramkan di hadapannya.

Dari kejauhan, ia mendengar suara tembang Jawa yang dilantunkan.

Kata-kata yang tak asing.

“Sukmo sing kuwat, sukmo sing marisi…”

Kata-kata yang membuatnya resah.

“Sukmo sing kuwat, sukmo sing kuwoso.”

Para makhluk halus itu lalu menyeringai padanya. Seakan memberi pertanda; mereka ingin menerkamnya hidup-hidup. Sekuat tenaga ia menggerakkan sepasang kakinya. Ia tak mau jadi santapan para makhluk berwajah setan di sini.

Lihat selengkapnya